Arya Banjar Getas. Begitu ibu menyebutkan namanya. Â Nada suara ibu saat mengeja nama itu, Â pernah kudengar saat ia mengucapkan nama lengkap adikku, sembari bersitatap dengan ayah. Â Ada alunan yang bergetar halus, Â mengambang di udara, Â sekaligus juga ketegasan sempurna - mungkin agar nama tersebut sungguh sungguh terpatri dalam hati. Semua rasa yang kemudian dibungkus satu perasaan paripurna, Â bernama CINTA.
"Tadinya ibu mengabaikan mimpi itu. Â Pasti bunga tidur lagi. Â Tak penting.. "
Ibu menengadah, Â menggantung kalimat.
"Lalu, Â ada yang kemudian mengganjal. Pekerjaan rutin ibu gagal selesai seperti biasa. Segala hal jadi terasa mengganggu. Ibu mengalah. Ibu ambil kertas dan pulpen, Â dan mulai menulis.. "
Wajah ibu menjadi cerah. Sepasang manik matanya yang hitam, Â seolah terkepung sinar putih pertama menyilaukan, Â dari matahari yang terbit di pagi yang cerah.
"Setiap kata, Â menjadi kalimat, Â melengkap pada paragraf, Â seolah repihan batu. Perlahan luruh. Ganjalan di hati dan otak ibu, Â mengurai... "
Arya Banjar Getas, Â mengangsurkan gelang rumput, Â memasangkannya di pergelangan tangan sang Puteri Raja. Â Putih dengan rona kemerahan, Â warna kulit yang tak pernah benar-benar terpanggang terik matahari. Â Lembab sempurna dijaga kelembutan susu segar, Â di setiap acara mandi yang menyenangkan.
Gelang rumput, Â memendar, Â bak pijar matahari di ambang petang. Â Merah bercampur nila, Â berserabut oranye tipis. Â Geletar rasa bahagia, Â seperti mentari yang telah usai lakukan kewajiban sinari bumi sehari penuh. Sinar pada gelang rumput adalah geletar rasa si pemuda pada gadis pujaannya. Â Puteri Raja nan cantik jelita. Â Luluh mereka berdua pada gemerlap rasa, Â dihantarkan gelang rumput, Â memerangkap lewat detuk nadi di pergelangan tangan. Detik berikutnya, Â saling membakar panas, Â pada berbalasan tatap si pemuda dan puteri.
***
"Suatu hari nanti, Â kamu mungkin akan merasakannya juga. Rasa jatuh cinta. Â Tak peduli siapa memaksa siapa, Â siapa dipaksa siapa, Â pada akhirnya memang cinta bisa mengubur dua hati. Â Tanpa logika. Kerap tak bisa dipikirkan normal... "
Ibu bilang, Â meski sadar ia tengah bermimpi, ia merasakan pula gelenyar rasa indah di hati si pemuda dan Puteri Raja. Â Semuanya berulang di tiga mimpi! Rasa yang kemudianl menuntunnya, Â benar-benar menuliskan kisah si gelang rumput, Â dalam sekali duduk.
"Seperti si Puteri Raja, Â wajah ibu juga memanas. Â Perasaan ibu melayang. Â Ibu juga mendadak sedih, Â ketika para ibu dayang, Â menggeret Puteri Raja, Â kembali ke tenda. Â Di mimpi itu, Â sang pemuda mencegat puteri, Â saat hendak turut hadir di acara rapat kerajaan. Â Rapat yang gagal ia hadiri, karena, di detik gelang rumput melingkari pergelangan tangan kanannya, Â segenap hidupnya sudah jadi milik si pemuda gagah.. "
"Sebentar. Berarti si pemuda ini, Â yang namanya Arya Banjar Getas itu? " Aku menyela, Â sepenuhnya kini turut menunggu akhir kisah cinta seorang pemuda gagah dan sang puteri.
"Iya."
***
Geletar cinta sang Puteri Raja, Â tak pernah sampai. Segera setelah sampai di istana, Â tinggi tembok dan sekian lapis 'orang pintar' di sekeliling Ayahanda Raja, Â menghentikan pertemuan kedua. Rindu dendam sang puteri cantik jelita, Â terperangkap di balik kelambu, di basah pengganjal kepala yang dibungkus sutera terhalus. Rindu dendam yang menguap di udara, Â mungkin sampai di hati si pemuda, namun mustahil menjadi pelepas dahaga.
"Ibu tergugu, Â saat benar-benar terdiam setelah menuliskan tanda 'titik' terakhir. Â Dada ibu sakit. Â Seperti saat jatuh cinta, Â rasa sakit ketika cinta itu tak sampai, Â kembali menggumpal keras bak batu. Gelang rumput direbut paksa, Â dikurung dalam satu kotak. Juga mengurung cinta yang terperangkap di dalamnya. Satu hal, Â segera setelah kisah mereka ibu tuliskan, Â mimpi ibu juga berhenti... "
*Padangbai Bali, Â 6 Juli 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H