Aku tumbuh dewasa di bawah bayang-bayang 'hakim dunia'. Bantar Gebang. Secantik apapun aku, terlahir tanpa ibu yang tak ada kabar berita lagi (tak ada yang sudi berbagi cerita - kemik ujung bibir dan manik mata berputar ke atas di setiap berpapasan manusia manapun yang kutemui, mustahil melahirkan secuil kisah tentang ibuku), bau sampah menemaniku tumbuh dewasa. Lalu, aku bertemu Dadang.
"Aku takkan bosan bilang, sejak awal aku tak berniat mencari pekerjaan. Kamu tetap saja memaksa buat menikah. Mana? Rokokku habis. Kudengar tadi kamu habis merias di kampung sebelah," Dadang mengulurkan tangan. Mulut hitamnya bersaput kabuh putih tebal. Dua jari tengahnya menguning coklat. Sebelah tangannya mengulur ke depan wajahku.
"Beras mau...."
"Aku tak peduli, sundal! Rokok!!"
Setengah batang rokok yang tadi ia isap tanpa henti, lumat di ujung sandal. Dua tangannya kini merogoh semua saku di pakaian yang kukenakan. Sela BH pun tak luput. Disana ia temukan gulungan lima puluh ribu.Â
"Nah..Begini dong. Lumayan, dapat satu pak. Pintu jangan dikunci, mana tau aku ingin tidur di rumah," seringainya pertanda kemenangan. Mungkin bukan sepak rokok. Sebatang, dengan satu botol miras oplosan dan entah berapa ribu tersisa untuk beradu untung dengan domino.
Dua anak yang lahir, semuanya karena aku lupa minum pil KB. Beruntung. Seorang kader di kampung kami, berhasil memaksaku operasi Tubektomi. Jaminan tak ada lagi anak yang lahir. Terbengkalai. Tak terurus.
Hanya Dadang yang menatapku dengan binar mata, pertama kami bertemu. Ia seolah tak peduli dengan riuh stempel orang-orang terhadapku. Hanya Dadang, yang mampu membuatku tersenyum. Binar mata dan senyum, yang kupegang erat di hati, saat memaksanya agar mau menikahiku.
"Jangan paksa aku bekerja. Urus dirimu sendiri.." 'Akad' yang kuterima dengan senyum lebar.
***
Hari ke-3 tanpa beras. Hutangku sudah ada, hampir di setiap warung, di delapan arah penjuru angin serta radius 20 meter dari rumah bedek kami. Kampung seberang Bantar Gebang. Aku batuk dan demam. Corona terkutuk membuat jasa cuci seterikaku tak laku. Tak ada yang berani bukakan pintu. Tak ada pula ajakan merias. Tak boleh ada keramaian. Dadang tak pernah pulang. Pulang pun, seperti biasa, ia takkan peduli.
Dua anakku masih balita, mustahil meminta mereka mencari Bapak, kakek mereka. Sekali pernah kuajak. Bapak hanya memandang dalam diam. Hidupnya abadi dalam duka yang ia telan sendiri. Di kubangan duka tersebut, satu-satunya keberuntunganku, Dadang mendapatiku masih perawan.
Batuk, demam dan pusing memikirkan cara mendapatkan beras, dunia terasa mencekik. Pikuk suara para tetangga kiri kanan di kampung yang padat, tak menjamin akan ada satu manusia yang bisa kumintai tolong. Tuhan. Apa sungguh aku harus menyerah sekarang?
***
Aku tersenyum lebar. Di antara batuk, demam dan kepala yang bak dipalu godam, aku merasa bahagia luar biasa. Dua anakku, segera akan sampai di surga. Aku dengar dari orang-orang, di surga, makanan dan minuman mengalir bak air di sungai Ciliwung. Sekali, pernah ada pengajian yang keras dari speaker mushola di kampung, masih pula di surga, apapun mau kita di pikiran, segera terhidang di hadapan. Yuni sangat suka ayam goreng dan nasi hangat. Seorang majikan lepasku, kerap berbaik hati menitipkan. Yani adiknya, sedang sangat suka bubur sumsum. Susu yang diberi orang-orang, kerap aku campurkan air tajin. Biar Yani kenyang. Sekali ia merasai segelas plastik bubur sumsum, satu jam ocehan planetnya tanpa henti. Semua bayangan itu membuat senyumku makin lebar. Meski dua tanganku mulai sakit. Digeret paksa dua bapak polisi. Tetangga kiri kananku menudang menuding, sambil berbisik-bisik. Aku tak peduli. Yang aku pedulikan, Yuni sedang menyuapi nasi hangat dan menggigit ayam goreng. Di depannya, Yani juga menyuapi bubur sumsum dari mangkuk putih bersih. "Tuhan, terima kasih. Sekarang, anak-anakku takkan pernah lapar lagi.."
"Ibu, saya akan mendampingi ibu, bicara di hadapan para hakim. Tapi, sebelumnya, kita akan ke dokter dulu ya. Namanya psikiater. Ibu tidak perlu takut. Ceritakan saja, ndak perlu ditutupi...," seorang ibu yang cantik, berbicara padaku dari balik kerangkeng besi.
"Ibu yang cantik...Sebenarnya saya sudah lelah bicara. Dari masuk ke sini tadi, saya sudah ditanya banyak orang. Sudah saya bilang, saya cuma mengirim anak-anak saya ke surga. Di surga, mereka tidak akan kelaparan....," timpalku, sambil tersenyum simpul.
Samar, jauh di belakang, terdengar percakapan dua petugas jaga.
"Sementara memang disel terpisah dulu. Tahanan yang lain mengaku ngeri. Mereka takut digorok ibu itu. Padahal kan ndak bawa apa-apa juga..."
*Selong, 5 Juli 2022
Seri Kumcer Ibu, semoga suatu hari, menjadi jejak fiksi saya - Muslifa Aseani.
Lahir mulai 1 Juli lalu, berisi rupa-rupa kisah seorang IBU:
1 Juli - Dunia Baru
2 Juli - Masa Yang Mana?
3 Juli - Gengsi
4 Juli - Yang Serba Kecil
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H