Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Kumcer Ibu: Yang Serba Kecil

4 Juli 2022   17:58 Diperbarui: 4 Juli 2022   18:01 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ibu dan Anak-Anak. Credit Shutterstock

Tiada duka yang lebih dalam dari kedukaan ditinggalkan ibunda. Dunia dan akhirat.

"Ibu bilang, nyapu itu sampai di bawah kursi, meja, lemari. Pokoknya sampai semua sudut!"

"Aduh Adit. Nggak sempat. Kamu gih, lanjutkan seperti yang dibilang ibu..."

"Kakak pemalas!!"

Aku benar-benar memang tak sempat. Teguran Adit pun kuabaikan. Seperti terbang, aku bergegas ke depan, menstarter motor dan mengulang kata 'terbang' kedua. Kegiatan di kampus akan mulai dua puluh menit lagi. Personal brandingku sebagai si ratu tepat waktu, tak boleh cacat sekali pun.

***

Ratu tepat waktu dan penerbang darat, dua julukan bagiku, dimana pun aku sekolah dan berkomunitas. Ingin kesempurnaan untuk selalu hadir tepat waktu, membuatku selalu juga serba terburu-buru. Julukan kedua, sangat kusyukuri. Berkat itu, aku, Adit dan Bapak, saling bergenggaman tangan, menemani ibu saat sakaratul maut. Empat bulan lalu.

"Seperti yang sering ibu bilang, Andin dan Adit jaga sholatnya dengan baik ya. Di awal waktu. Belajarnya juga sampai yang tingggiiii...," ibu terbatuk. Dadanya kembang kempis, mengatur nafas. Aku dan Bapak masih mampu tersenyum, mengelus punggung tangan ibu, menyatakan persetujuan. Isak Adit, bertindihan dengan pesan-pesan terakhir ibu.

"Saling sayang. Saling bantu. Ibu sangat bahagia, punya Bapak, Andin dan Adit. Ibu bisa pulang dengan tenang ..."

Perlahan namun tegas, Bapak menuntun Ibu melafalkan syahadat. Asma akut ibu, menyerah juga terserang virus Covid19. Sekian hari perawatan ICU, ibu meminta pulang. Ibu ingin dekat dengan kami, ketika tubuhnya telah benar-benar kalah.

Ibu tersenyum. Segera setelah sepasang mata indahnya terpejam, aku dan Adit bertangisan. Keras. Tetap saja, luka dan duka ditinggal ibu, gagal terlepas meski sedu sedan kami sampai ke langit.

***

Rumah tetap saja tak seindah ketika ibu masih ada. Bukan kami tak berusaha. Sebulan dibantu seorang pembantu, Bapak memutuskan untuk sebisanya merawat rumah bertiga saja. Bapak yang hebat. Seribut apapun aku dan Adit berbagi tugas, ia tak pernah mengeluh atau menyerah dengan memarahi kami. Bapak yang berusaha menjadi pengganti ibu yang lembut, mencintai kami tanpa suara tinggi, apalagi umpatan dan bentakan.

"Wah, rumah kita wangi bener. Jangan-jangan ibu habis main seharian nih ke rumah kita...," Adit berputar, menari-nari dari ruang tamu, ruang keluarga, memasuki setiap kamar, sampai hempaskan tubuhnya di kasur kamarnya sendiri.

"Hayyoo, ingat pesan Ibu ndak? Harus bilang apa?"

"Terima kasih banyak kakak Andin, putri tepat waktu dan penerbang darat...Adit laff you pullllll..."

"Minggu depan giliran kamu lo Dit...Semua seprei, sarung bantal dan guling dicuci dengan pewangi kesukaan ibu. Semua lantai ruangan, juga dipel.."

"Hah! Yaaaa, kakak. Jadi rusak dah suasana surganya Adit.."

Aku tertawa keras, melihat Adit yang sontak duduk tegak di pinggiran tempat tidur. Punggungnya melengkung. Tarian dan senyum lebarnya sedetik tadi, lenyap.

Sambil tetap tersenyum, aku berjanji sendiri dalam hati. Adikku sholeh, tenang. Kakak takkan pernah benar-benar melepasmu sendirian. Kakak hanya menjaga nasehat ibu, kita berdua, semoga dimampukan seterampil ibu. Pelan-pelan. Sebisa kita. Bersama cinta Bapak yang masih temani kita di dunia.

***

Andin dan Adit, ibu sungguh sangat bahagia, saat di dunia, juga sekarang ini. Tak apa banyak sudut rumah yang gagal tersapu dari debu. Atau nasi dalam magic com yang menggumpal keras, karena kalian lupa mengaduknya dan menutupnya lagi lima menit sebelum siap disantap bersama. Juga bahwa seprei, handuk, sarung bantal dan guling, dicuci empat hari sekali. Ah ia. Seperti bapak kalian, kalian masih juga lupa menjemur handuk basah di rak terpisah. Kasur kalian jadi lebih lembab, kan. Hal-hal kecil, semoga saat semakin dewasa nanti, kalian akhirnya menyadarinya. Setidaknya, ketika Andin telah jadi ibu, atau Adit membantu istrinya untuk selalu ingat.

*Selong, 4 Juli 2022

Seri Kumcer Ibu, semoga suatu hari, menjadi jejak fiksi saya. Lahir mulai 1 Juli lalu, berisi rupa-rupa kisah seorang IBU:

1 Juli - Dunia Baru

2 Juli - Masa Yang Mana?

3 Juli - Gengsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun