Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Kumcer Ibu: Gengsi

3 Juli 2022   21:26 Diperbarui: 3 Juli 2022   22:13 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tiga perempuan (ibu).  Credit: PngTree

Kalau hanya jadi pembantu,  kamu bantu ibu saja di sini. Ndak perlu ikut orang. Asal sabar saja makan seadanya.

"Belum makan!  Aku lapar... "

Kakakku penderita schizhopernia. Dunianya abu-abu.  Lambungnya yang terisi makanan,  seringkali tidak disepakati ingatannya. Saat ini,  belum ada dua jam setelah sepiring munjung ludas dan tandas.  Ia minta sepiring lagi. 

Tumpukan cucian piring di wastafel aku tinggal. Sepiring nasi dengan seperempat potong dari sebutir telur yang didadar tipis,  segera ia suapi rakus. Jika benar-benar lapar,  sepiring munjung kedua sama tandasnya. Kadang,  sedikit kemanusiaannya yang tinggal,  membuatnya menyisakan nasi. Cuilan telur dadar,  tidak setara jumlah suapan nasi. 

Kebiasaan begini,  membuat aku dan ibu bersepakat. Stok beras selalu ada. Meski lauk pauk sangat seadanya,  fungsi utama makanan di rumah keluarga ini,  mengganjal lapar dari seseorang uanh lebih sering lupa telah makan. 

***

Lantai keramik berkilau. Pantulan penjar oranye matahari pagi,  sudut pandang yang membuatku sangat suka menyapu dan mengepel lantai saat fajar.  Gigih baru saja bangun. Tak ada muka yang dirapu. Rambut yang tak berteman sisir. Baju kusut,  yang hanya diganti saat ia mai menuruti teguranku. 

Jejak kakinya menyisakan bercak coklat.  Ia menyeberang dari kamar kecil di ujung paling belakang rumah,  tanpa alas kaki.  Meski setapak paving blok juga hanpir selalu bersih,  tak urung debu halus menghancurkan kemilau air dan cairan pengepel. 

"Kakak,  cuci kaki dulu dong. Tuh,  lantainya jadi kotor lagi.. "

Hanya berbalas gumaman tak jelas,  Gigih beranjak, menciptakan jejak coklat baru.  Sudahlah,  masih pagi. Stok sabarku masih seluas semesta. 

***

"Ibu yang sabar. Sebisaku temani ibu merawat kak Gigih.  Kurangilah ngomelnya. Kan ibu juga yang jadi merasakan pusing karena tensi yang naik terus.. "

Ibu hanya kerlingkan ekor matanya.  Beliau baru saja menghela nafas. Suara enam oktaf,  ibu arahkan ke Gigih. Sekaleng besar susu bubuk coklat jatah minum sebulan, habis dalam semalam. Aku dan ibu lupa memasukkannya ke kamar dan di lemari stok makanan yang terkunci. 

Iya. Ibu dan aku,  tak pernah bisa meninggalkan stok makanan di luar kamar.  Dunia abu-abu Gigih, membuatnya tak kenal hitungan apapun.  Laparnya hanya tentang makanan yang harus habis,  masuk semua ke lambung. Tak ada kata hemat,  juga boros. Hanya ada lapar. Harus segera makan. 

***

"Ajak suami dan anak-anakmu tinggal di sini.  Tidak usah pusing dengan kebutuhan mereka.  Gaji pensiun ibu dan almarhum bapakmu,  masih cukup.  Asal sabar. Jangan lupa. Simpan makanan atau apapun,  di dalam kamar kalian. "

Dua gaji pensiun. Namun, selalu ada hari ketika lauk utama adalah potongan tipis dari telur dadar. Masih Gigih,  sering mendadak kolaps dan terpaksa dirawat inap berhari-hari di rumah sakit. 

Suamiku bekerja. Anak-anak tetap bisa bersekolah. Nyatanya, kondisi Gigih,  memaksa kami yang waras bertahsn sebisanya. 

Titik yang membuatku akhirnya sadar. Penolakan ibu atas niatku bekerja sebagai pembantu,  bukan karena gengsi.  Beliau sangat butuh ditemani merawat Gigij. Putra sulungnya,  yang menjadi bayi dewasa. Entah sampai batas hidup siapa. Setidaknya,  batas yang belum sampai. Ibu yang sudah sendiri,  atau aku.  Si putri bungsu,  dan adik tunggal Gigih. 

*Selong,  3  Juli 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun