Lahir, tinggal, menetap lalu menua di Indonesia, apa ada yang pernah serta benar-benar tak memiliki teman yang agamanya berbeda? Oke, jika bukan agama, bagaimana dengan warna kulit? Bentuk wajah, tinggi dan pendek, gemuk versus kurus, ikal berbanding rambut lurus bak mayang mengurai? Rasanya hampir tak ada. Bahkan, kembar identik sekalipun, masih ada sedikit unsur pembeda. Tak pernah 100% sama.
Percayalah. Ketika kita sampai di pemahaman, perbedaan itu adalah justru menjadi banyak alasan kita untuk saling menerima, disitulah saat kita melihat lengkung indah warna warni pelangi, dimanapun kita berada. Tak ada korelasi, seseorang yang cara berjalannya geal geol, lantas bisa dilabeli bak penari pemikat lelaki. Atau bagaimana dengan seseorang yang punya kebiasaan berjalan jinjit? Masa kita terus menerus menganggapnya sedang datang bulan, dan jadi berjalan jinjit karena tak nyaman dengan pembalut yang dipakainya? Eh..
Demikian Pula Berbeda Agama
Mungkin untuk sebagian, tidak akan pernah seindah pelangi. Tapi, bagaimana jika saya meminjam satu kondisi taman bunga sebagai analoginya? Umumnya taman bunga, ya tentu ada berbagai varian mawar. Ada pula melati. Kamboja, palem, kembang kertas, adenium, pakis haji, well, masa harus mengabsen semua jenis bunga di satu taman? Kembali saya ke baris pertama kalimat di paragraf kedua di atas. Sejatinya, begitulah kita di dunia ini. Begitu berbeda di banyak hal. Akan bisa satu, ketika yang berbeda tidak kita lihat sebagai satu alasan pemecah. Alasan untuk selalu bertikai, berperang, pokoknya tak pernah sepakat.
Hidup yang sekali, koq jadi capek bener ya kalau disibukkan hanya dengan ke-serba-tak-sepakat-an.
Indahnya Berteman Dengan Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Kejawen
Masa kecil saya dulu, saya pernah mendengar satu kisah viral. Syarat viral di masa era smartphone belum eksis, materi berita hadir di setiap momen berbelanja di tukang sayur, di arisan-arisan, kadang, ketika acara doa belum dimulai, dibisik-bisikkan di jemaah pengajian.Â
Kisahnya adalah, seorang ibu murka di pengadilan negeri, tak rela putrinya berpindah agama karena menikah dengan seseorang dari agama yang berbeda dengan agama keluarga besar mereka. Satu petikan hikmah yang kemudian saya tanamkan erat, saya takkan berpacaran dengan siapapun yang lain agama. Namun, berteman tak masalah. Petikan hikmah ini pula yang saya kisahkan ke anak-anak.
Perbedaan agama dalam pertemanan, lumrah. Namun, jika terikat pada akad yang berhubungan dengan ketauhidan, harga yang saya tuntut, mahal. Tak ada celah. Sungguh-sungguh saya berdoa, jangan sampai berada di posisi ibu dan anak di kisah masa kecil saya tersebut di atas.
Alhamdulillah. Sekian lama berteman di lintas kantor, masa sekolah, komunitas-komunitas, perbedaan agama samasekali tak pernah jadi masalah. Saya bahkan beruntung, teman-teman lintas agama terjaga di vibe serba positif. Saya sampai tak ingat, momen bercanda sekali pun, menggunakan 'bahan' bercandaan sensitif terkait agama.
 Jaman Now, Perbedaan Agama Masih Bisa Dikondisikan Seindah Pelangi
Pilihan judul sub-bag ini, karena mendadak saya ingat, ada satu konten di Tiktok. Seseorang menceritakan, temannya yang agama lain, terpaksa mengikuti caranya beribadah, karena temannya takut tinggal sendirian di kos. Menggelitik iya, lucu iya, prihatin iya. Buat yang menghargai rasa takut si teman, tentu ringan untuk menganggapnya sebagai satu kelucuan. Jauh berbeda, jika seseorang yang terlalu fanatik beragama, umumnya lebih sibuk menghakimi, melabeli dan meng-katai begini begitu.Â
Jadi, bagaimana? Yuk, bisa yuk, kita yang muslim, semoga selalu dimampukan untuk menghargai perbedaan-perbedaan. Kita yang bukan muslim, semoga juga dimampukan bersikap yang sama. Lalu, kita bisa sembari tersenyum, saat berdendang ringan, "And we live as one".
*Selong, 17 April 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI