Keputusan bulat, yang harus saya lewatkan selama setahun dulu, untuk kemudian sekarang bisa mengucapkannya dengan lantang. Eh, di sini, menuliskannya dengan tegas. Bahkan sebagai judul tulisan. Iya, setahun lalu, saya terkena psikosomatis cukup parah. Padahal, jika dibandingkan dengan saat ini, tahun lalu saya masih bekerja. Bahkan sebenarnya sangat sibuk.
Pembelajaran diputuskan dari rumah, melalui platform belajar online. Alih-alih bekerja sekitar 8 sampai 9 jam per hari, proses online ini malah membuat pekerjaan berlangsung hampir sepanjang hari. Memang bisa bekerja sambil rebahan. Namun, mengolah materi, mengunggah, mengecek unggahan tugas anak-anak, serta menjawab pertanyaan-pertanyaan, kadang bisa sampai pukul 11 malam.
Catatan khusus berikutnya, saya menjadi sangat tidak  produktif. Jika biasanya menulis sebagai healing, sekitar tiga sampai 4 bulan di tahun lalu,, hampir tak ada satu pun tulisan personal. Satu dua tulisan, tulisan berbayar. Saya terlena dengan godaan overthinking tak kenal waktu. Bengong sejenak saja, pikiran saya sibuk dengan kondisi-kondisi buruk efek Covid-19. Seringkali, ketika tidak berbelanja kebutuhan harian, bahkan gerbang depan rumah pun tidak saya lewati seharian penuh. Aktivitas hanya berlangsung di kamar, atau ke halaman belakang buat berjemur atau menjemur. Sisanya? Hanya menggeser jari telunjuk atau jempol, dari fitur chat onlline serta sosmed di HP pintar.
Menulis, Akhirnya Healing Terbaik Atasi Psikosomatis
Tentu hanya salah satu pilihan cara. Namun bagi saya, alhamdulillah, menulis masih menjadi cara terbaik untuk perlahan abaikan gangguan psikosomatis. Berikut catatan personal saya, sampai akhirnya hari ini mantap menuliskan ini.
Pertama, bekerja offline. Awal Juni 2020, kantor saya memutuskan staf dan guru mulai masuk dan bekerja tatap muka langsung. Keputusan yang berlanjut semakin ekstrim (saat itu). Pertengahan Juli 2020, para santri juga akan kembali ke asrama dan memulai pembelajaran offlline. Usai prokon sekian minggu, sampai kemudian saya mengundurkan diri di awal September, alhamdulillah, keputusan berinteraksi offline berimbas baik. Utamanya saya pribadi.
Pekerjaaan, pertemuan dan interaksi offline semakin intens. Rasa takut berlebih melihat kerumunan orang banyak, perlahan mulai terkikis. Imbas lainnya, pikiran positif bahwa seeksis apa pun Covid-19, imun tubuh yang baik dan kebiasaan terapkan protkes 5M cukup efektif melawan Corona.
Kedua, kembali menulis dan produktif. Blog personal saya mulai rajin ter-update. Hutang tulisan dari arisan menulis, juga terbayar satu per satu. Blog-walking, atau saling berbalas komen dengan blog teman-teman, juga mulai rajin saya ikuti. Bahkan, ketika seorang teman mengatakan saya gila karena resign, efek kondisi 'menganggur' tidak separah ketika saya alami psikosomatis selama akhir Maret sampai Mei 2020.
Berteman Dengan Covid-19, Musuhan Dengan Psikosomatis
Ya, pastinya, berteman karena Covid-19 sudah menjadi sisi keseharian kita. Di banyak tulisan yang mengulas si Covid-19, genre medis atau popular, kita harus mulai memandang si Covid-19 sebagai virus kebanyakan. Sebagai sesama orang tua, rasanya sebagian besar kita pernah mengalami diskusi 'panas'. Salah duanya, memutuskan apakah diare pada anak-anak disebabkan oleh virus atau bakteri. Atau, apakah flu dan batuk anak-anak, hanya di'obati' dengan penurun panas tanpa antibiotik, versus, wajib habiskan sekian dosis antibiotik. Dua hal yang kini bisa saya terima dengan legowo. Penyakit asbab virus atau bakteri, akan lebih haqqul yakin jika penegakan diagnose melalui tes lab. Flu dan batuk diobati dengan atau tanpa antibiotik, berpulang ke 'keyakinan' orang tua, -- terutama tentu karena merekalah yang paling bertanggung-jawab pada apapun keputusan yang diberikan pada anak.
Demikianlah kini saya menyikapi Corona dan virusnya, si Covid-19. Pembelajaran mahal dari tahun lalu. Takluk pada psikosomatis hanya berujung pada kesakitan diri sendiri. Saya tak lagi menjadi pribadi yang bermanfaat. Wong sendirinya selalu merasa serba sakit. Ibadah selama Ramadhan 2020, yang harusnya menjadi penawar terbaik, terasa sekadar menjadi pembayar syarat. Bahwa, iya, kita sedang menikmati Ramadhan. Namun, buah baik dari puasa, ibadah-ibadah sunnah, sebatas penggugur kewajiban. Sungguh menyedihkan.