Rasanya tidak bisa menemukan kalimat pembuka yang tepat. Jadi, ijinkan saya mengutip saja dari salah satu link berita, tentang kasus gizi buruk di Lombok Timur (Lotim).
... 'Angka stunting di Lotim berdasarkan catatan Dinas Kesehatan (Dikes) Lotim masih berkisar di angka 43%' ... (Suara NTB.com, 12/03, pg. 6 ln. 5).
Terpisah, saya jadi teringat ketika beberapa waktu lalu merasa masygul sendiri. Beredar link berita, tentang pernyataan yang dikeluarkan salah satu kementerian, bahwa delapan kabupaten di Propinsi NTB berstatus Daerah Tertinggal. Potensi SDM terbanyak dari kabupaten terluas di pulau seribu masjid, kampung kelahiran saya, mendadak tak berarti apa-apa. Agak berkurang, ketika secara sederhana melakukan perbandingan. Misal, perbandingan ke kabupaten tetangga, Lombok Tengah.
Lombok Tengah menjadi lokasi dari Bandara Internasional Lombok (maaf, saya masih belum hapal penamaan bandara baru, tanpa harus melakukan googling). Di kabupaten ini pula, sudah mulai terbangun sekian puluh kilometer embrio dari sirkuit Moto GP. Ada pula Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, dimana sarana prasarananya masih terus menerus dalam proses pembangunan dan penyempurnaan. Pun masih juga termasuk sebagai Daerah Tertinggal.
Nyatanya, perasaan masygul menjadi warga dari dari kabupaten daerah tertinggal, bukan alasan untuk merasa normal dalam menyikapi satu kasus gizi buruk.
Salam Kenal Purnama Hadi
Hari ini, 13 Maret, tak ada bayangan sedikit pun saya akan bertemu Purnama Hadi. Di setengah hari awal, saya menyelesaikan beberapa proses edit di salah satu web travel. Jelang tengah hari, tiga post berhasil saya edit dan memastikan indikator standar SEO-nya sudah berwarna hijau. Beberapa koleksi foto untuk update dan menjaga feed akun IG juga selesai dan terpasang. Masih juga ditambah proses edit beberapa bahan tulisan untuk blog personal dan tentu saja di akun K ini.
Lalu, mendadak akhirnya bisa membayar janji bertemu salah seorang rekan peserta Kelas Women Will Lombok. Satu kelas kreatif yang digagas tim Google Indonesia. Event yang menyasar para perempuan wirausaha di Lombok. Saya bertemu Ibu Sumaeni, pemilik satu lesehan berjarak 10 kilometer dari rumah. Saya berboncengan dengan Vivi Pangjam (Pangeran Jamur), wirausaha lainnya yang sukses berbisnis olahan jamur. Kami bertiga berdiskusi sampai sekitar pukul lima sore waktu Lombok.
Sekitar setengah enam sore, tiba di parkiran RSUD Lotim, barulah Vivi berkisah maksud dibalik kunjungannya ke rumah sakit ini. Vivi ternyata mendapat tugas mendadak, memastikan keberadaan seorang pasien gizi buruk.
Perlahan, segera setelah Vivi mulai mengajak keluarga pasien mengobrol, barulah saya mulai teringat terapkan standar 5W1H. Syukurlah, pihak keluarga sangat kooperatif. Bahasa tubuh saya yang bisa jadi terkesan tak nyaman, tak menghalangi mereka menjawab setiap pertanyaan saya selanjutnya.
Berada di bangsal anak, Purnama Hadi telah berusia 18 tahun. Inaq Muhnim, sang ibunda, lancar kisahkan putra ke-6nya ini lahir di tahun 2000. Dekat dari bangku plastik yang saya duduki, ada Murahati. Si bungsu dari tujuh bersaudara, sekaligus adik yang berjarak dua tahun dari Purnama Hadi.
Purnama Hadi Menderita Campak dan Gizi Buruk
Terbata, satu persatu info lainnya saya coba gali. Bahwa, dulu di usia 9 bulan, Purnama Hadi mendapatkan suntik campak (imunisasi). Satu jenis imunisasi wajib bagi semua anak di Indonesia. Juga dua anak saya, meski seingat saya, salah satunya mendapatkan imunisasi ini sempat terlambat.
Pascaimunisasi, bayi Purnama Hadi demam tinggi dan kejang. Kondisi yang memaksanya harus dirawat sampai tiga bulan. Sampai di sini, ada rentang waktu yang saya lewatkan di beberapa pertanyaan selanjutnya.
Kisah dari Pak Pahrudin, putra ke-4, sebutkan Purnama Hadi sempat bisa berbicara normal di usia antara 6 sampai 7 tahun. Saat itu, ia terkenang bagaimana ia sempat dipanggil 'kakak'. Purnama Hadi juga bisa memanggil ibu dan bapak (almarhum Amaq Mahudin).
Kisah manis yang kini benar-benar tertinggal di kenangan. Jika hari ini terhtung sebagai usia 18 tahun, kondisi Purnama Hadi yang selalu harus dibantu di kesehariannya telah berlangsung selama 6 sampai 7 tahun terakhir.
"Pernah ada yang usulkan agar nama lengkapnya dirubah. Ketika ia mendengar itu, ia menangis sampai seminggu. Pas saya yakinkan kalau namanya samasekali tidak dirubah, ia kembali tenang dan bisa senyum atau tertawa lagi," kisah Inaq Mahnim, ketika saya pertanyakan, pernahkah lakukan ikhtiar mengubah nama. Serupa usaha menitipkan doa baik, mengabadikannya di nama.
Murahati, adiknya, berkenan berbagi dua foto. Yang satu, foto senyuman Purnama Hadi, di salah satu momen selama dirawat kembali di tiga hari terakhir. Foto yang lain, tawa cerah ketika masih berumur sekitar 11 tahun. Dulu.
Mengapa Saya Menuliskan Ini?
Sekarang ini, saya belum benar-benar memiliki alasan terbaik. Bisa saja, sekadar pembayar janji ke Vivi, juga ke keluarga Purnama Hadi sendiri. Toh, ketika melibatkan diri di satu wawancara tentang apa pun, menuliskan hasilnya tentu merupakan satu keharusan. Meski seringkali kadang hanya menambah koleksi bahan saja. Batal tayang karena tak penuhi kaidah tertentu, terbanyak, karena terlewat momen tepat saat tulisan tersebut seharusnya tayang.
Setidaknya, berbekal tulisan ini, Vivi bisa menyampaikan laporan ke siapapun yang memintanya melakukan itu. Saya? Seharusnya mewawancara lebih banyak pihak lagi. Namun, sekarang ini, saya belum benar-benar memiliki alasan terbaik untuk itu.
Mungkin, karena, ini pertama kali saya bertemu langsung dengan penderita gizi buruk. Mungkin, karena penderita gizi buruk tersebut, adalah karena ia sesama warga Lombok Timur. Tepatnya, warga dusun Timba Ekeq, desa dan kecamatan Suralaga. Satu sudut dari belasan kecamatan di kabupaten Lombok Timur. Satu kabupaten dari delapan di propinsi NTB, yang merupakan daerah tertinggal. Mungkin, bahkan jika salah satu atau semuanya tak berkaitan sama sekali.
Wallahu'alam Bishawab.
*Selong - 13 Maret 2019
Catatan Penting: Saya dan Vivi sudah meminta ijin keluarga Purnama Hadi, baik untuk materi tulisan ini, juga foto yang disertakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H