Pekan ini akan banyak kemeriahan peringatan Nuzulul Qur'an. Turunnya ayat pertama Kitab Suci Umat Muslim, Al Qur'an. Â Baik di masjid besar, sampai di pelosok kampung, di musholla-musholla.
Seringkali perayaan diramaikan Lomba Adzan. Puitisasi terjemahan ayat atau surah tertentu. Hiburan dari kelompok Qasidah. Semakin ramai lagi, jika ada lomba resep takjil dari para ibu-ibu. Yang kemudian dinikmati, berbuka bersama warga sekampung. Kecil besar, tua pun muda. Masjid atau musholla, berubah seramai pasar. Namun di nuansa berbeda. Ukhuwah islamiyah, pererat silaturahmi. Di latar menyambut ayat-ayat suci, kalam ilahi.
Satu event yang saya rasakan langsung, terakhir di satu musholla di sudut Banyumanik. Sisi utara pemukiman padat di Semarang selatan. Tepatnya salah satu musholla di rukun tetangga (rt) tujuh, desa Pedalangan. Kenangan di sekitar enam tahun lalu.
Di Lombok, saya belum pernah lagi terlibat acara sejenis. Terbesar karena sudah sibuk di aktifitas rutin harian, menjadi ibu pekerja pun ibu rumahan saat wiken tiba. Aktifitas pengurus RT juga tidak seaktif seperti saat saya masih tinggal di Semarang. Anak-anak kini lebih sibuk 'belajar' membangun rumah di game-game online.Â
Sungguh berbeda dengan masa kecil saya dahulu. Di mana saya nyaris lupa berapa jam tepatnya saya berada di rumah, kecuali waktu makan dan tidur. Sisanya adalah tentang bermain, bermain dan bermain.Â
Kembali ke Nuzulul Qur'an, itu berarti waktunya blusukan semakin jauh. Mengapa? Segera setelah peringatan turunnya Al Qur'an, berarti akan bersiap dengan malam-malam di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Terutama malam ganjil, yaitu malam Lailatul Qadar.
Berbeda dengan tulisan kemarin, saat masih anak-anak, malam seribu bulan ini berarti malam Dile Jojor (dile= lampu, jojor=jarak. Lampu Jarak). Lilin-lilin alami buatan sendiri. Lebih mirip sate pusut, dibanding lilin-lilin modern sekarang.
Jadi, bersama teman-teman sebaya -- lebih sering bersama kakak sulung saya yang hanya terpaut umur satu setengah tahun, masuk dan keluar kebun. Berburu biji jarak tua.
Sampai dirumah, biji jarak tua yang sudah putih, dihaluskan dan dijemur sampai kering di terik matahari. Begitu terus. Rekor Dile Jojor yang pernah saya buat bersama, 21 buah. Sesuai target, akan dinyalakan persis di malam Ramadhan ke-21.
Ingatan berikutnya yang lahir dari kenangan ini, 21 Dile Jojor kami (saya dan kakak) ikatkan di pagar kayu rumah. Entah dengan kalimat apa, kami pun berhasil meyakinkan orang tua untuk memadamkan lampu semalaman. Jadilah, kami buru-buru tarawih (kabur ke musholla dengan imam tarawih yang super kilat), demi misi menyalakan 21 Dile Jojor.
Berhasil. Terasa syahdu, perjuangan dapatkan biji-biji jarak tua. Menggiling dan menjemur. Mengadon tepung yang sudah kering dengan minyak tanah, menjadikannya lilin dan menjemur ulang.Â
Saya jadi tersadar. Alasan terbesar mengapa saya baru belajar membuat kue kering, saat sudah jadi mahasiswa, adalah karena saya begitu sibuk dengan misi ini. Enam tahun masa sekolah dasar, dengan banyak kenangan manis pun berkesan.
Menyusun bersama misi ini itu, melakoni prosesnya dan menjaganya sampai terjalankan sesuai target utama.
Sekarang, putri sulung saya setahun lagi akan masuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Mungkin sebaiknya saya tidak harus terlalu menyesal, ia melewatkan misi membuat lilin alami sendiri (Dile Jojor). Jaman telah berbeda. Mungkim saya harus mendukungnya menjadi seorang arsitek. Meski dasar minatnya, karena begitu gandrung membangun di game Mini Craft.
Wallahu'alam.
Selamat merayakan Nuzulul Qur'an kepada seluruh umat muslim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H