Bagi saya, tak masalah. Bahkan menjadi tambahan pengetahuan baru bagi rombongan tamu saya, bahwa di pulau seribu masjid, perayaan adat dan hari besar agama lain sama meriahnya. Pun berlaku tertib dan melibatkan sebagian besar masyarakat yang berada di pusat perayaan tersebut. Entah sekadar sebagai penonton, atau sedikit empati, benar-benar tidak melintas di setiap perkampungan atau kompleks hunian umat Hindu yang masih sedang merayakan Nyepi.
Kembali ke pawai Ogoh-ogoh, ba'da Jumat tiga hari lalu, dari sekitar 80-an lebih Ogoh-ogoh (patung raksasa) yang meramaikan pawai, saya hanya berhasil membidik tak sampai setengahnya. Padatnya peserta pawai, penontong dan pemburu foto seperti saya, menahan dan membuat saya sama sekali tak bisa saksikan Ogoh-ogoh di arak dan perform.
Satu area yang tunjukkan keberagaman umat dan agama di Lombok, selain kota tua Ampenan. Wajah masa kini, pun sekaligus juga jejak sejarah masa lalu. Eksisnya warga asli Sasak Lombok beragama muslim, dengan para pendatang dari negeri tirai bambu, pun sejarah sempat dikuasainya Lombok oleh kerajaan Karangasem Bali.
Pengetahuan dan pengalaman langsung, jika saya inginkan mengulangnya di tahun depan, terutama momen Perang Api (Bobok) di sesaat setelah arak-arakan Ogoh-ogoh, tak mesti bisa saya dapatkan berbarengan dengan perayaan Saraswati.
*Meninting 19 Maret
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H