Menyimpan simpul dukanya di ujung bibir, menyuntingnya menjadi senyum.
Menebarnya jadi binar mata dan tawa bahagia.
Atas hidup memang sepantasnya selalu pantas jadi asbab segala macam bahagia.
Untai katanya tentang segala keserba-baikan.
Beda adalah serupa warna-warna bunga di taman.
Juga abu-abu pekat petang, saput tipis putih cirrus pun cumulonimbus yang sesatkan banyak pikir.
Ia yang mengelindan duka di rona cantik rupa.
Tangis menjadi seburuk birahi yang tertahan malam, tersimpan rapat di lapal mantra.
Wahai pemilik semesta, padaku tertitipkan selaksa nyawa, jaga baikku demi baik mereka.
Bidadari badung, tertawakan sumpah serapah, tangisi pelukan erat persahabatan.
Pandangi pasang mata sipit, lebar, hijau, biru dan hitam, dijejaki bersisian, dalam senandung kidung pelangi.
Semesta benar tentang segala serba indah, serepot apa memaksanya memuram dedat?
Pelaku semua syair cinta, sesederhana pagi tentang langit yang menerang.
Juga masih selalu hidup berujung mati, pilih saja yang kamu suka.
Tangis bahagia pada kelahiran, atau ratapan tawa pada kematian.
Seorang yang kutemui semalam, titipkan doa 'terhormatlah dengan pengabdian dan karya'.
Aku pekikkan 'tabik', keras-keras pada jiwa dan bayangku.
Berhenti permainkan rasamu sendiri, teruskan saja mencintai kata-kata dan menulislah saja.
Pada banyak hati telah kangkangi banyak mati.
Jika aku, ia, kamu dan semua tak terkecualikan, apa yang membuatku abai dan menoleh tolak antrian?
Mari lagi bernyanyi, satu-satu aku, ia, kamu dan semua, sayang,
Perempuan yang telapak tangannya aku, ia kamu dan semua kecup.
Arin, telapak tangan siapa yang kau kecup.
Beratkah kisahkan padaku, cerita apa di setiap kecupan yang kau berikan.
*Meninting 13 Maret
Rangkaian Puisi ARIN, rupa-rupa kisah manusia, tentang sayang dan cinta. Tentang Rasa;