Kamu racun. Tinimbang mematikan, kamu lelapkan setiap gelisah. Seperti sabit di pagi buta. Memaku jiwa. Alirkan kisah kasih di balik banyak hati. Sabit kisahkan padaku. Seseorang yang berteman kesunyian. Sabit kata, ia berteman sunyi, pada sunyi tak ada rasa yang tertolak. Bersambut peluk mereka. Tawa mereka riang, di wajah-wajah yang basah di alir air mata. Lalu angkasa sepenuhnya membiru. Tak harus sembunyi, sabit turut membiru samar.
Kamu udara. Penuh-penuh kuhirup, menjadi sesakku. Berhimpitan ia dengan bulir-bulir merah. Apa memerangkap siapa. Degupku tak lagi terpisah siang dan malam. Degup menapak di jejak-jejak. Segenap pandang penuh-penuh akanmu. Degup mengembara di ribuan kisah dari banyak sosok tak bernama, di lelap tak tertahan. Di lelap atas nama malam. Degup terhantar di sekian lapis langit. Entah di semesta mana, akankah kamu yang tuliskan ini?
Kamu langit. Kulepasmu terbang tinggi. Jangan lagi pernah menoleh ke bumi. Wajah tawamu dan manik mata menari, telah kulekatkan pada: klorofil di setiap helai daun, titik embun -- saat ia menyublim kristal, pun ketika ia menjadi uap. Kupandangi di setiap basah tersisa. Dari lebat pun gerimis hujan. Di semua masa aku, nyawaku, berjalan-jalan di atas tanah mana pun. Kuharap masih, pun selalu, bernama bumi.
Kamu malam dan pagi. Demi pernah aku abaikan waktu. Lalu kini aku harus kembali. Merayakan fajar dan petang seperti lima purnama lalu. Kemudian bersama fajar, kubangunkanmu, hiduplah seperti hidupmu. Menantimu di bibir petang, namun untuk tak membersamaimu. Atas begitulah matahari dan bulan, tak pernah berdampingan.
Kamu --tak pernah hendak kujadikan, matahari. Kugelapkan hari, namun terangmu menyilaukan. Kumembakar diri, denganmu jadi beku. Kutenteng lampion kertas, masuki Aokigahara. Inginku, kamu disampingku. Nyatanya, kamu kucari di balik pinus, di bawah bayang batang pohon mati. Tiadamu, adaku. Adaku, hilangmu.
Kamu hidup. Menjadi matiku. Bolehkah kupinjam, kalimah sakti para penyair, kematian milik kami, jutaan mati. Namun jika hidup tentang serakan kata, kata pula yang sedang kupunguti. Meminjamnya. Membacainya dari setiap gurat di dahi,
Kamu, si pemilik wajah penuh tawa. Pun kamu, Arin, tawamu yang mana yang masih harus kubacai?
*Meninting 12 Maret
Rangkaian Puisi ARIN, rupa-rupa kisah manusia, tentang sayang dan cinta. Tentang Rasa;
#Arin2018: #1Â | #2 |Â #3 | #4 | #5 | #6 | #7 | #8
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H