Kamu bagiku, ruang tak berdinding. Kamu datangiku di sela seribu satu mimpi. Seperti katamu, ada yang tertinggal dihati. Tentang rasa begitu dalam. Saat itu, dari kamu yang tak bernama.
Kini, aku mulai mengutuki nyata. Atas mimpi itu mewujud, kamu. Lalu duniaku dipenuhi dinding-dinding. Aku dan dinding-dinding. Kembali menukar olok. Dinding bilang, "Jangan pernah turuti rasa di setiap mimpi indahmu. Karena ia tak pernah gagal berbohong".
Satu yang dinding tak tahu. Aku mencuri waktu, ceritakan semua. Kamu dan mimpiku. Lalu, dinding mencuri kebahagiaanku. Tak seperti mimpi, rasa indah itu semu. Tak ada ungkapan cinta. Tak ada kecupan manis. Keduanya tertinggal di mimpi. Sisakan, hanya kamu.
Dinding-dinding menertawaiku. Sibuk merangkai kata. Bercakap sendiri. "Kau keras kepala. Selalu berani kangkangi rasa sakit. Kini mimpi indahmu hanya jadi pekat jelaga masa lalu."
Segera matamu yang menari hadir, tepat di dua manik hitamku. Kutatapi mesra dinding-dinding. Kamu, cintaiku, dulu. Benar di mimpi. Aku, cintaimu, kini. Senang untuk tahu, aku dan kamu, tidak sedang bermimpi.
Arin, tengoklah dinding-dinding. Jika dulu banyak monolog kataku rapi kamu simpan. Simpanlah lagi yang satu ini. Untuk satu lagi mimpi, sekali ini, takkan ada yang terceritakan. Entah ia mewujud, pun tidak. Aku tak lagi mau dinding-dinding. Meski tentu saja, kata-kata akan selalu penuh-penuh dijiwaku.
*Selong 18 Februari
Rangkaian Puisi ARIN, rupa-rupa kisah manusia, tentang sayang dan cinta. Tentang Rasa;
#Arin2018: #1Â | #2 |Â #3 | #4
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H