Keluarga besar saya di Lombok masih kental diwarnai poligami. Pilihan yang berhenti di ayah saya dan sampai hari ini bisa saya syukuri sebagai contoh untuk tidak diikuti anak-anaknya, saudara-saudara lelaki saya.
Kakek saya dari garis ibu, menikah sepuluh kali. Total jumlah paman dan bibi saya dari sepuluh pernikahan berbeda tersebut berangka 25 orang. Beberapa paman saya dari hitungan 25 ini juga rata-rata menikah dua kali.
Sepupu-sepupu saya, atau cucu almarhum kakek ‘baru’ sekitar 75 orang. Tanpa harus menikah dua kali sekali pun, saya pribadi sudah menyerah menghitung keponakan-keponakan saya. Ambil dua generasi, keluarga besar inti saya benar BESAR secara definitif.
Dari garis ayah, almarhum kakek saya meski ‘hanya’ menikah dua kali, pakde serta bude saya total 7 orang. Masing-masing mereka memiliki enam orang putra dan putri. Saya pikir saya harus berhenti di sini. Saya juga sudah pusing berhitung.
Kebiasaan berpuluh tahun yang tetap mengundang kontroversi ketika hal ini dijadikan satu Peraturan Bupati (perbup) bernomor 26 tahun 2014 lalu. Lombok Timur, satu dari empat kabupaten di pulau Lombok. Payung hukum dus ‘pelindung’ para pelaku poligami, sekaligus sebagai keran kas daerah.
‘Mahar’ sejuta rupiah tersebutkan. Meski peraturan ini berpijak pada harus dilaluinya persyaratan dasar sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 junto PP nomor 45 tahun 1990 tentang Perkawinan. ‘Perijinan’ yang tetap melukai para ibu-ibu PNS, pun para ibu kebanyakan. Toh, tanpa Perbup, masih banyak pernikahan bawah tangan atau yang dikenal sebagai siri mulai berlaku umum di masyarakat.
Dua paragraf awal ulasan saya ini menjadi latar saya enggan berjodoh pun diperjodohkan dengan keluarga jauh saya (di luar keluarga besar inti). Bagi saya, efek poligami tak semata berimbas pada besarnya keluarga. Â
Beberapa efek lain, diantaranya:
Pertama; seluas apa pun tanah warisan atau harta benda yang bisa ditinggalkan bagi anak cucu, proses pembagiannya jarang sekali mencapai nilai keadilan yang ideal. Bahkan jika standar pembagiannya berlapis dua sekali pun. Berbekal notaris plus hukum agama. Ibu saya masih melalui satu proses panjang pembagian tanah warisan yang tak selesai-selesai. Pun ayah saya. Belum pula menyebut beberapa keluarga dekat dari saudara atau sepupu-sepupu kakek saya.
Kedua; terputusnya tali silaturahmi antar keluarga sebagai imbas berikutnya dari apa yang terjadi di point pertama di atas.
Ketiga; mengaburnya batasan jelas garis keluarga. Tak perlu harus mempraktekkan lagi, ayah dan ibu saya sebenarnya masih kerabat jauh. Ibu saya terhitung bibi ayah saya. Pusing lagi? Baik, saya hentikan lagi di sini.
Lantas, bagaimana satu pernikahan tepat umur meminimalisir resiko poligami?
Merujuk pada portal berita online Lombok FM, angka perkawinan muda di kabupaten Lombok Timur masih tertinggi di tahun 2016 nanti. Mengutip pendapat Kepala BKKBN Lombok Timur H. Suroto dari wawancara terkait berita ini, kondisi menikah muda diakui sebagai penyebab timbulnya komplikasi masalah.
Salah satunya kematian ibu akibat kehamilan yang terlalu cepat disertai minimnya pengetahuan menjalani kehamilan sehat, Â seperti yang diuraikan di salah satu slide materi Nangkring Kompasiana bersama Blogger Kupang, 27 Juli lalu.
Poligami menjadi efek berantai berikutnya yang rentan terjadi pada pasangan menikah muda. Pemuda yang tiba-tiba terpaksa menjadi ayah, tak siap menjalani tanggung-jawab menjadi ayah siaga dari istri yang sedang hamil besar.
Kondisi yang menjadikannya labil dan malah justru berpaling pada perempuan lain yang kadang  mungkin adalah janda tanpa anak dari hasil perkawinan lain yang sama bermasalahnya. Lingkaran kondisi yang masih kerap terjadi di pelosok pedesaan di kabupaten Lombok Timur.
Beliau jauh lebih mengkhawatirkan resiko kegagalan saya berumah-tangga serta kesempatan peroleh keturunan, daripada mendukung ikhtiar orang tua saya mendorong tetap fokus bersekolah dus kesempatan memiliki karir bekerja selepas kuliah. Kondisi yang bahkan masih berselang 5 sampai 6 tahun kemudian dari masa menempuh kelas 2 SMA (saat ini kelas XI).
Bibi-bibi yang usianya sepantaran dengan saya satu persatu benar mulai beroleh keturunan. Namun itu juga berarti, seumur hidup mereka telah terikat di dalam rumah. Kecil kemungkinan beroleh kerja, pun menambah kesempatan beroleh pengetahuan lebih, umumnya perkembangan di jaman serba digital ini.
Bibi-bibi saya yang terpaksa berhenti ‘belajar’ menambah panjang barisan para ibu-ibu (baca: orang tua) yang melahirkan generasi yang tak lebih baik. Bersekolah dasar sampai menengah pertama, terjebak lingkungan keluarga serta kultur yang masih sama dan berulanglah kondisi yang terjadi pada orang tuanya.
Program Generasi Berencana (Genre) BKKBN yang menyasar Remaja dan generasi muda menjadi harapan baru. Bagi para remaja dan orang tua di Lombok Timur khususnya, pun lebih banyak generasi remaja lainnya di seluruh Indonesia.
1. Semakin minimnya angka perkawinan muda, dus akan;
2. Menekan resiko ekses lanjutan yaitu Poligami.
3. Memperluas kesempatan para remaja meningkatkan kualitas pribadi dan keluarganya, menjadi insan-insan matang, produktif serta bertanggung-jawab
4. Terbukanya kesempatan membentuk keluarga yang matang karena kesiapan masing-masing pasangan, lelaki dan perempuan, untuk kemudian melahirkan generasi yang sama berkualitasnya.
Memiliki bekal mendampingi anak-anak saya menghadapi dunia serba digital berlatar kultur dan budaya yang masih belum jauh berubah di kampung-kampung leluhur saya. Seringkali saya berbicara atau lakukan diskusi kecil bersama dua anak-anak saya, betapa pentingnya mereka bersekolah setinggi-tingginya, bekal dasar mereka siap produktif berkarir di dunia kerja yang mereka sukai untuk kemudian akhirnya siap berumah-tangga.
Menikah tepat umur tak harus selalu berpatok pada ‘rumus’ formal pemerintah (setelah 20 tahun bagi perempuan dan di atas 25 tahun bagi lelaki). Bersamaan dengan pemahaman-pemahaman positif dari uraian program-program pemerintah seperti Genre, keserba-mudahan di era digital bisa dimanfaatkan bersama semaksimal mungkin.
Standar agamis bisa tetap dilakukan, lebih pada kepercayaan, ajal, jodoh dan rezeki adalah rahasia Tuhan. Usia jodoh dua anak saya bisa jadi kurang atau lebih dari 28, pun rujukan standar usia pemerintah Indonesia, namun ketika mereka telah siap dan penuhi sebagian besar karakter insan yang meliputi kemampuan Pikir, Hati, Raga serta Karsa atau Rasa, harapan saya sama idealnya dengan harapan orang tua manapun.
*Selong 30 Agustus
Tulisan ini diikut-sertakan pada Event Blog Competition Nikah Usia Ideal Raih Masa Depan Cemerlang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H