Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wariskan Kearifan Lokal di Momen Makan Bersama

10 Agustus 2016   10:54 Diperbarui: 10 Agustus 2016   11:09 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kredit foto: Komunitas Blogger Lombok.

Saya beruntung mengenal dua budaya berbeda di dua masa seperempat abad usia saya. Masa pertama, lahir, tumbuh dan menempuh usia dewasa muda di pulau Lombok. Pulau berjulukan pulau seribu mesjid dengan keseharian yang kental bernuansa Islam. Berikutnya, juga terbiasa rasakan efek budaya partial yang membiasakan kedepankan laki-laki (baca: ayah) di hampir segala hal. Misal, pada momen makan bersama, tak ada yang boleh mencuci tangan mendahului ayah. Atau lelaki tertua di keluarga.

Masa seperempat abad kedua, meski hanya menetap sepuluh tahun, kehidupan keseharian yang multi budaya saya rasakan di sisi selatan kota Semarang Jawa Tengah. Lima agama dan satu kepercayaan seperti yang saya pelajari di buku-buku mata pelajaran IPS saat di sekolah dasar, atau mata pelajaran PKN di sekolah menengah.

Berbeda dengan keseharian saya di Lombok, tepatnya di kota Selong Lombok Timur, hampir sepanjang tahun saya rasakan meriahnya perayaan hari-hari besar dari lima agama berbeda saat menetap di Semarang. Di salah satu gang kecil kompleks perumahan di Semarang Selatan, saat Natal tiba, akan ada hantaran nasi gudangan kotak. Bergantian, saat Lebaran, saling antar ubo rampe tupat dengan opor, sambal goreng hati dan yang lainnya dari tetangga yang muslim. 

Meski di gang yang sama tak ada tetangga yang beragama Hindu dan Budha, namun euforia perayaan muncul di tontonan televisi lokal. Baik itu tentang pawai ogoh-ogoh dan persembahyangan di pusat kota (Semarang bawah) untuk para penganut Hindu, atau pelepasan ribuan lampion dari candi Borobudur atau vihara lainnya saat Waisak tiba.

Saat ini, saya sudah menetap kembali di Lombok di tiga tahun terakhir. Yang rasakan menonjol, meski di masing-masing hari raya lima agama besar Indonesia telah menjadi tanggal merah di kalender dus menjadi hari libur kantor serta sekolah negeri, tak ada lagi saling antar makanan antar tetangga.

 Televisi lokal pun umumnya tayangkan pawai ogoh-ogoh mengingat di kabupaten Lombok Barat, masyarakat penganut Hindu terbanyak kedua setelah muslim. Perayaan hari besar agama selain muslim praktis menjadi berita sekilas dari tayangan televisi nasional. Lebih terasa sebagai hari libur umum di hari Minggu.

Bagi anak-anak saya, beberapa contoh sederhana dari kearifan lokal di atas bisa jadi berbeda. Anak-anak saya sempat juga tumbuh di dua kota dengan budaya keseharian berbeda ini. Namun, mereka hanya peroleh cerita saya tentang keharusan menunggui ayah atau lelaki tertua di keluarga mencuci tangan (baca: selesai makan) dahulu, tidak mengalami langsung. Yang mereka alami di sepuluh tahun awal kehidupan mereka, siapa pun boleh lebih dahulu makan dus selesai. Anak-anak bisa dan boleh mendahului ayah mereka. Ibu bisa dan boleh lebih dahulu selesai makan serta mencuci tangan.

6-57aaa43b5297732d0e7162e3.jpg
6-57aaa43b5297732d0e7162e3.jpg
Dokpri.
Dokpri.
Dokpri.
Dokpri.
Selain urutan selesai makan dengan penanda momen mencuci tangan di atas, satu kebiasaan lain yang cukup membedakan cara makan antara di kota Selong Lombok Timur dan Semarang adalah penggunaan alat makan seperti sendok.

Di Selong, kebanyakan warung makan masih sediakan mangkuk wadah pencuci tangan. Meski kemudian ada set sendok dan garpu yang diletakkan di atas meja, sebagian besar pengunjung juga akan lebih memilih menikmati makanan yang mereka pesan menggunakan tangan.

Keluarga kecil saya sendiri pernah sempat sering alami kejadian lucu. Bagaimana saya yang sudah merasa yakin siapkan kelengkapan (piring-piring, gelas, nasi dan berbagai jenis lauk pauk) di setiap jadwal makan, ternyata masih selalu kurang siapkan sendok. Piranti makan wajib yang dibutuhkan suami saya yang lahir serta tumbuh besar di kota Semarang.

Selain kisah-kisah kebiasaan cara makan, tentunya masih banyak sisi lain dari nilai-nilai kearifan lokal dari daerah Lombok Timur dan kota Semarang yang masih harus dipelajari oleh dua anak-anak saya. Pun mungkin terjadi bagi banyak anak-anak lainnya di Indonesia, yang kebetulan memiliki orang tua serta keluarga besar dari dua daerah yang berbeda. Bahkan bisa jadi negara yang berbeda.

Nilai-nilai kearifan lokal yang saya yakini bisa diambil sisi positifnya, untuk kemudian diikuti dan dijaga konsistensi penerapannya. Bagi saya, momen makan bersama menjadi salah satu cara yang cukup efektif untuk proses ini.

Di titik ini, kembali saya teringat pesan salah seorang tetangga sepuh ketika saya menetap di satu kontrakan di satu lokasi yang masih disebut sebagai kampung asli di selatan Semarang. Menurut beliau, warga kampung tersebut meyakini bahwa tak elok (kurang sopan) jika orang tua menghabiskan sisa makanan anak-anak mereka meski mengatas-namakan penghematan dan sayang makanan yang harus terbuang. 

Kali lain, di kantor lama saya, berjarak tak sampai lima kilometer dari kampung tersebut, jamak kami saling mengingatkan (bahkan bos saya sendiri tak sungkan sering-sering ingatkan kami karyawannya) untuk bertanggung-jawab menghabiskan setiap makanan yang kami ambil saat makan bersama di acara syukuran kantor. 

Di Lombok, kaum ibu kebanyakan dimaklumi kegagalannya menjaga tubuh yang ramping karena mahfum bagaimana mereka harus bertanggung-jawab habiskan jatah makanan yang tak termakan anggota keluarga lainnya. Entah itu sisa, atau pun memang menu terpisah yang belum tersentuh. Pun jamak jika makan bersama di satu piring atau wadah makan lebih besar lainnya (istilah di Lombok, begibung) serta memaklumi siapa pun yang lebih dahulu mengalah dan tak menyuap lagi. Di momen begibung ini, pemakan terakhir tak lantas disebut sebagai si pemakan sisa makanan.

Kompilasi sederhana dari beberapa pengalaman hidup keseharian saya di atas, sering menjadi tema umum obrolan saat makan bersama anak-anak saya. Baik saat di rumah, atau pun di luar.

Beberapa kebiasaan kecil yang kemudian mulai menjadi kebiasaan positif, diantaranya:

Pertama, didikan kemandirian sejak dini. Saat ini anak bungsu saya di masa-masa awal jalani kehidupan dan lingkungan baru di tahun pertama sekolah dasar. Tantangan besar mengingat sebelumnya ia tak lewatkan pembelajaran di Taman Kanak-Kanak. Untuk itu, saya masih sesekali berikan kesempatan sarapan dengan disuapi. Satu hal yang saya usahakan takkan saya turuti jika sedang makan bersama di luar. Lebih sebagai usaha pembelajaran, orang tua tak selalu bisa sepanjang waktu menemani anak-anak dus anak-anak sebaiknya terbiasa melakukan banyak hal sendiri.

Dokpri.
Dokpri.
Dokpri.
Dokpri.
Kedua, kebiasaan tolong menolong. Keluarga besar saya di Lombok benar-benar besar dengan makna definitif. Kakek saya dari garis ibu pun ayah, menikah lebih dari sekali dan saya memiliki masing-masing lebih dari lima orang paman serta bibi. Tak jarang, salah seorang paman kemudian juga menikah lebih dari sekali dan hanya dari sepupu saja, anak-anak saya memiliki keluarga terdekat hampir di angka ratusan orang.

 Saat ini sudah cukup susah untuk kami semua benar-benar berkumpul secara lengkap. Sebagian pun, sudah terasa seperti acara perkumpulan RT saat di Semarang. Di momen makan bersama, masing-masing orang sudah diharapkan mandiri. Si ini siapkan wadah mangkuk untuk mencuci tangan, si itu siapakan deretan gelas dan air minumnya. Bantuan paling sederhana, mencuci sendiri satu piring dan gelas miliknya.

Dokpri.
Dokpri.
Dokpri.
Dokpri.
Ketiga, saling menghargai dan menghormati.  Meski masih harus sering mengingatkan, tak jarang anak-anak saya tak tertahan cetuskan keheranan mereka ketika melihat cara atau pilihan menu makan orang lain. Sesuatu yang tak terhindari mengingat bahkan di Lombok sekali pun, kadang dua desa berbeda di satu kelurahan yang sama memiliki kebiasaan-kebiasaan berbeda. Apalagi jika kemudian diperluas ke daerah lain. 

Lombok versus Semarang. Daerah ini versus daerah itu dan seterusnya. Kisah-kisah sederhana, baik saat makan bersama di rumah pun di luar, saya harapkan menjadi pengingat anak-anak saya, bahwa menghargai dan menghormati cara serta pilihan menu makan orang lain sebaiknya dikedepankan. Jika saya sudah tak lagi bisa menikmati secuil kecil mentimun, tak perlu melarang orang lain yang letakkan tiga sendok makan penuh acar timun di atas sepiring nasi goreng mereka.

 Jika semangkuk penuh keong sawah tampak begitu nikmat disantap dengan dua tangan oleh sepupu mereka di kampung leluhur saya, akan tetap asyik serta nikmat juga bagian kami yang kami nikmati dengan bantuan garpu, tusuk gigi bersih, bahkan bantuan palu kecil.

Dokpri.
Dokpri.
Masih belasan tahun bagi anak-anak saya menjelang usia seperempat abad pertama mereka. Namun, kebiasaan-kebiasaan, kisah-kisah masa kecil saya, pun pengalaman-pengalaman dari sekian banyak momen makan bersama saat di Lombok pun di Semarang, saya harapkan mampu menjadi bekal positif mereka. Nanti di keluarga kecil mereka masing-masing, ada nilai-nilai kearifan lokal yang terjaga. Konsisten dipraktekkan nyata di hidup keseharian, menjadi bahan obrolan di momen-momen kebersamaan mereka. Mungkin tak lagi dengan begibung (makan bersama, Lombok), namun tetap saling tolong menolong, saling menghargai dan menghormati serta sama-sama mandiri di banyak hal.

Semoga

*Selong 10 Agustus

- My FB Account : Muslifa Aseani.

- My Twitter Account: Muslifa_Aseani.

Tulisan ini diikut-sertakan di event [Blog Competition] Ayo Bagikan Kisah Kebersamaan Santap bersama Keluargamu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun