Nilai-nilai kearifan lokal yang saya yakini bisa diambil sisi positifnya, untuk kemudian diikuti dan dijaga konsistensi penerapannya. Bagi saya, momen makan bersama menjadi salah satu cara yang cukup efektif untuk proses ini.
Di titik ini, kembali saya teringat pesan salah seorang tetangga sepuh ketika saya menetap di satu kontrakan di satu lokasi yang masih disebut sebagai kampung asli di selatan Semarang. Menurut beliau, warga kampung tersebut meyakini bahwa tak elok (kurang sopan) jika orang tua menghabiskan sisa makanan anak-anak mereka meski mengatas-namakan penghematan dan sayang makanan yang harus terbuang.Â
Kali lain, di kantor lama saya, berjarak tak sampai lima kilometer dari kampung tersebut, jamak kami saling mengingatkan (bahkan bos saya sendiri tak sungkan sering-sering ingatkan kami karyawannya) untuk bertanggung-jawab menghabiskan setiap makanan yang kami ambil saat makan bersama di acara syukuran kantor.Â
Di Lombok, kaum ibu kebanyakan dimaklumi kegagalannya menjaga tubuh yang ramping karena mahfum bagaimana mereka harus bertanggung-jawab habiskan jatah makanan yang tak termakan anggota keluarga lainnya. Entah itu sisa, atau pun memang menu terpisah yang belum tersentuh. Pun jamak jika makan bersama di satu piring atau wadah makan lebih besar lainnya (istilah di Lombok, begibung) serta memaklumi siapa pun yang lebih dahulu mengalah dan tak menyuap lagi. Di momen begibung ini, pemakan terakhir tak lantas disebut sebagai si pemakan sisa makanan.
Kompilasi sederhana dari beberapa pengalaman hidup keseharian saya di atas, sering menjadi tema umum obrolan saat makan bersama anak-anak saya. Baik saat di rumah, atau pun di luar.
Beberapa kebiasaan kecil yang kemudian mulai menjadi kebiasaan positif, diantaranya:
Pertama, didikan kemandirian sejak dini. Saat ini anak bungsu saya di masa-masa awal jalani kehidupan dan lingkungan baru di tahun pertama sekolah dasar. Tantangan besar mengingat sebelumnya ia tak lewatkan pembelajaran di Taman Kanak-Kanak. Untuk itu, saya masih sesekali berikan kesempatan sarapan dengan disuapi. Satu hal yang saya usahakan takkan saya turuti jika sedang makan bersama di luar. Lebih sebagai usaha pembelajaran, orang tua tak selalu bisa sepanjang waktu menemani anak-anak dus anak-anak sebaiknya terbiasa melakukan banyak hal sendiri.
 Saat ini sudah cukup susah untuk kami semua benar-benar berkumpul secara lengkap. Sebagian pun, sudah terasa seperti acara perkumpulan RT saat di Semarang. Di momen makan bersama, masing-masing orang sudah diharapkan mandiri. Si ini siapkan wadah mangkuk untuk mencuci tangan, si itu siapakan deretan gelas dan air minumnya. Bantuan paling sederhana, mencuci sendiri satu piring dan gelas miliknya.
Lombok versus Semarang. Daerah ini versus daerah itu dan seterusnya. Kisah-kisah sederhana, baik saat makan bersama di rumah pun di luar, saya harapkan menjadi pengingat anak-anak saya, bahwa menghargai dan menghormati cara serta pilihan menu makan orang lain sebaiknya dikedepankan. Jika saya sudah tak lagi bisa menikmati secuil kecil mentimun, tak perlu melarang orang lain yang letakkan tiga sendok makan penuh acar timun di atas sepiring nasi goreng mereka.