Kusandarkan carut marut pikir di rupa-rupa warna pelangi
Padanya kutitip setiap kusut pikir
Dengan putih --sumber warna pelangi, kuyakini Tuhan hadir di setiap kesusahan hidupku
Melalui biru, rancak bahagiaku kuharap memercik
Penuhi langit dan angkasa, pun segenap batas pandang
Pelangi kini sepenuh ruang hati dan otakku
Berpendar di sela pilar-pilar selasar Karyadi
Ketika merah, terasa basah di setiap poriku
Pisau bedah akan sentuh kulit bayiku
Vonis ektremitas tungkai, lingkar kaki kanannya dua kali lebih besar tungkai kiri
Pada nila, mengerucut setiap nadiku
Bayiku merangkak, berbicara, kemudian berjalan seperti bayi lainnya
Sungguhkah pisau bedah harus koyak kulit halusnya?
Pelangi membungkus tubuhku
Ketika sekali waktu saat kembali jejaki selasar Karyadi
Bayi lain dengan hidrocefalus dipeluk mesra neneknya, dibalut selimut pink dan pakaian bayi wangi di warna senada
Terima kasih wahai kuning
Di selasar saksi beribu jenis penyakit ini, keceriaanmu tak pernah jenak
Kami para ibu berpacu berikan cinta, tak pernah mengalah pada keluh atas rupa-rupa sakit
Jingga, hijau, biru dan ungu, wahai pelangi cantik
Rupa-rupa rasaku mengetuk pintu poli anak, poli ortopedia dan poli bedah. Berganti-ganti. Berulang-ulang.
Kembali ia putih, ketika vonis final bagi bayiku berujung "Bayi bapak dan ibu sehat. Tak perlu operasi. Tungkainya yang berbeda, anggap saja hadiah Tuhan"
*Selong 27 Juli
Olah diksi ini meramaikan Event Bulan Kemanusiaan RTC di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H