Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[100HariMenulisNovel] #40 Aluy

22 Mei 2016   14:18 Diperbarui: 22 Mei 2016   14:25 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin mendekati hari Lebaran, Baiq tak lagi dapatkan kesempatan pertanyakan warna baru dari rumah besarnya.

(Epilog Aluy 39)

Rasanya seperti mimpi, setiap sudut rumah besar tinggalkan jejak biru dan ungu di mana-mana. Aku tak berani pertanyakan apa pun lagi. Menyadari ibu letakkan warna-warna yang kucintai hampir di sebagian besar rumah besar ini, terasa nisbikan sekian tahun berjarak, rendahkan tembok tinggi di antara kami berdua.

“Aku i’tikaf di mesjid dua malam ya. Kebetulan Galih mengajakku juga. InshaAllah pas malam takbiran kami akan pulang. Put, kukira ibu berusaha sangat keras mencintaimu. Lihat. Rumah besar ini sekarang begitu identik dengan jiwamu.”

Mas Bagas sangat benar. Aku yang sedang menyiapkan pita-pita cantik hiasan kursi ikut edarkan pandang. Nuansa hijau yang tadinya kental warnai setiap sudut rumah kini berganti biru dan ungu.

“Ya mas, Alhamdulillah. Oia, sudah peluk dan cium Alfairuz? Jangan sampai dia rewel karena ayahnya tak pamitan.”

“Sudah. Fairuz meminta dioleh-olehkan kembang api, kemudian lelap lagi. Semoga puasanya di hari-hari terakhir ini bisa sehari penuh.”

“Aamiin. Mas yang hati-hati yaaa. Ingatkan Galih, hari pertama lebaran sebaiknya makan siang di sini saja.”

“Siap…Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam…,” wajah kami berdua sama terhiasi senyum lebar nan hangat.

***

Tanah masih gelap namun jemaah dua rakaat sholat Subuh sudah tunai. Tak lama, bersama-sama kami bacakan surah Yasin di kubur bapak. Jauh di dalam hati, aku ceritakan bahagianya bertemu Ranti serta Galih. Dua orang dekatku yang mungkin tetap tak akan kukenal dus kuketahui jika saja bapak masih hidup. Atau, jika saja bapak masih hidup, mungkin beliau sebenarnya sudah inginkan kami semua berkumpul. Mungkin akan bapak beritahukan saat berkumpul di hari lebaran, seperti hari ini. Keraskan suara lafalkan ayat-ayat dari surah Yasin, aku diamkan suara batinku yang sibuk sendiri. 

Ekor mataku memerangkap sosok ibu. Memaku pandangannya pada alquran kecil, wajah ibu begitu teduh dan sejuk. Tuhan menjawab doaku di pagi buta tadi. Alih-alih memaksa ibu beranjak bukakan pintu jika aku mengetuk lebih dulu, aku beranikan diri membukanya. Niat baik yang di jaga dan diteruskan semesta, karena ternyata ibu memang tak mengunci pintu. Lirih mengucap salam di samping tempat tidurnya, tak menunggu jawaban salam dari ibu, aku telah benamkan tubuh di pelukan tubuhnya yang ramping. Ibu tak menahanku ciumi ujung kakinya. Saat itu, salamku satu-satunya kata yang terdengar. Berjuta kalimat lain luruh di pelukan, berbalas ciuman pipi. Seremoni ibu dan anak yang terhenti oleh adzan subuh. 

Di beberapa penghujung ayat surah Yasin, doa berulang merajai batinku. Perkenan pemilik semesta, runtuhkan tembok pembatas, penjaga jarak antara aku dan ibu. Jika memang lebaran hari ini penanda hari pertamanya, doaku ribuan hari setelahnya hanya tentang kisah cinta seperti kebanyakan ibu dan anak lainnya.

Kembali ke rumah, sarapan sedikit sebelum kemudian berangkat kembali ke mesjid besar di tengah kota. Sholat sunnah Iedul Fitri biasanya dilaksanakan ketika lidah fajar pertama menyentuh permukaan tanah. Kecuali pelaksanaan di tanah lapang atau lapangan terluas di kota, sembahyang sunnah berjemaah sekitar pukul sepuluh pagi. Aku masih selalu menyukai kebiasaan masa kecil di sekitar mesjid besar kotaku ini. Kebiasaan yang kemudian juga disukai anak-anakku. Selepas bersalaman di kompleks dalam masjid, jemaah akan berbaris lagi di depan halaman mesjid. Tak peduli siapa pun yang lewat, tua muda besar atau kecil, kerabat atau pun bukan, kami semua akan bersalaman. Barisan yang biasanya baru akan bubar ketika sholawat penanda selesainya sembahyang di tanah lapang terdengar. Itu artinya, barisan akan berpindah ke gang-gang kampung, Barisan yang tak ada di depan rumahku, karena lokasinya di pinggir jalan raya lintas kota. 

Lepas dari bersalaman dengan para muslim di kota kelahiranku, dilanjutkan dengan menerima kunjungan keluarga besar di rumah. Kursi-kursi dan meja-meja prasmanan disiapkan di halaman belakang. Tak bisa mengobrol lama dengan keluarga Ranti dan Galih, aku paksa mereka mengambil foto keluarga besar. Berlatar kolam renang, aku ingin nantinya foto ini juga terpajang di ruang baca. Akan kuletakkan di samping foto keluarga terakhir bersama bapak almarhum. Foto bekal aku ceritakan lebaranku yang sempurna pada Aluy. Seseorang yang tak bosan yakinkanku, di saat-saat aku begitu lelah dengan jarak atau pun diamnya ibu, akan ada akhir yang manis pada kesabaranku menunggu.

--Bersambung--

Rangkaian cerita sebelumnya:  

ALUY - Kepergian.  

ALUY - Pertemuan 1.  

#39

Olah diksi ini meramaikan Event Tantangan 100 Hari Menulis Novel Fiksiana Community.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun