“Tadinya aku tak yakin. Sesekali paman Muis atau bibi Maryam yang ceritakan…”
“Memangnya ibu selalu cerewet pada kalian?” Aku memotong kalimat Galih, mencari tahu.
“Tidak juga. Tetapi setiap berkumpul atau bertemu, tak pernah masalah siapa yang memulai percakapan.”
“Kak Galih benar. Bahkan aku sering menelpon budhe, sekedar tanyakan hal-hal tak penting. Misal, sebaiknya membeli mawar berbunga putih atau merah lagi. Apa budhe tak pernah cerita kak?” Istri Galih menyambung dan ikut duduk bersama kami.
Aku menggeleng yakin.
“Mungkin bibi Maryam sudah ceritakan insiden kecil di awal puasa ini pada kalian. Jika itu tak terjadi, aku juga tak yakin kita akan bertemu begini.”
“Oh, yang itu. Ya, kak Putri benar. Kami harap sejak hari ini, kak Putri dan budhe bisa semakin hangat.”
“Amin. Nah, aku yakinkan kalian lagi. Sekarang tak perlu telpon atau meminta ijin. Kapan pun kalian tahu aku sedang pulang, lekaslah datang ya. Biasanya aku dan anak-anak akan istirahat sehari setiap baru datang dari Jogja. Tapi, kalau mau datang, datang langsung saja. Kalau perlu, menginap juga selama kami menginap. Rumah kan luas, akan masih cukup lapang dengan kalian bertiga.”
Pemastian ikatan yang tak berjarak. Tak perlu lagi.
--Bersambung--
Rangkaian cerita sebelumnya: