Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Sosmed Freak atau The Outsiders?

18 April 2016   10:06 Diperbarui: 18 April 2016   10:15 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: assets dot kompas dot com"][/caption]Dari delapan akun sosial media (sosmed) di cover foto, berapa yang Anda miliki? Saya? Minus mindtalk, saya punya tujuh akun. Kecuali hanya satu akun profesional di Linkedin, enam lainnya memilik akun ganda. Masih banyak lagi akun-akun lain di luar delapan logo dari foto cover. Komunitas baca, komunitas jalan-jalan, komunitas pedagang online, komunitas traveller dunia. Banyak. Sebanyak itu? Buat apa?

Terbesar (dan menurut saya, alasan terbaik) demi dan atas nama karir saya pribadi. Selepas resign menjadi pekerja kantoran, saya fokus lanjutkan hobi menulis. Alhamdulillah, sebagiannya berbayar. 

Bagaimana bisa akun sosmed mendukung karir menulis yang berbayar?

Begini:

Pertama, saat akhirnya bergabung ke komunitas ibu-ibu penulis di Semarang sekitar empat tahun lalu, salah satu yang sering diingatkan dalam pembelajaran bersama adalah memaksimalkan branding kepenulisan. Salah satunya melalui akun-akun sosmed. Ya Facebook (FB), ya Twitter (Tw), juga akun-akun lain baik terhubung atau tidak.

Saya sendiri mengenal internet hampir seperempat abad lalu. Tugas kuliah mencari referensi artikel luar. Jaman keemasan Yahoo dengan kompleksitas kelengkapannya (email berkapasitas besar, mesin pencari dan seterusnya). Selepas kuliah, berjodoh dengan kepercayaan bos sebagai marketing online, semakin terceburlah saya. Pun kemudian bergabung di komunitas blogger Semarang (loenpia dot net) yang notabene sebagian besar anggotanya pegiat IT. Waktu itu masih aktif milisan (grup chat dengan keanggotaan melalui alamat email). Saya mengingat dengan baik betapa cepatnya dapatkan undangan peroleh alamat email keren (waktu itu) di Gmail. Euforia ngetek (mendului) nama akun spesifik di kelahiran awal beberapa sosmed yang makin ke sini makin menggurita (seperti Twitter atau Instagram). Singkat kata, karena situasi, kondisi serta lingkungan (komunitas) saya menjadi sosmed freak.

Kedua, awalnya saya di barisan yang percaya bahwa akun-akun sosmed adalah juga diri saya pribadi. Bedanya, yang ini eksis di dunia maya. Namun, ketika akhirnya semakin dalam bergelut di kepenulisan berbayar, kebiasaan tersebut harus dirubah. Dunia maya tentu berbeda dengan dunia nyata. Karir dan kemampuan menulis yang ingin saya jual serta diketahui oleh jejaring baru saya di dunia maya, tak harus tahu keseluruhan plek ketiplek identitas saya saat di dunia nyata. Misal, bersama sahabat terdekat saya serupa cucak rowo. Berisik tak habis-habis. Merasa selalu gagal habiskan waktu dengan percakapan-percakapan penting. Bagi jejaring penulis (baca: penerbit atau pemilik web konten khusus), kemampuan berbicara saya yang berisik tak dibutuhkan. Yang dibayar adalah kemampuan menulis saya.

Jadi, lima tahun terakhir saya fokus membentuk branding penulis di hampir semua akun sosmed personal saya. Alhamdulillah, ikhtiar yang berbuah manis. Dua tahun terakhir tulisan-tulisan saya semakin spesifik. Kontributor web travel dan kontributor web memancing. Dua hobiis yang erat di keseharian keluarga saya. Memancing, sekaligus travelling.

[caption caption="DokPri: Upgrade kemampuan menulis, ulasan trip memancing."]

[/caption]Ketiga, era digital hampir mencapai tahun emasnya (baca: lima puluh tahun). Banyak akun-akun online yang akhirnya terintegrasi ke akun-akun yang tadinya berdiri sendiri. Sebut saja Gmail. Inovasi-inovasi fiturnya perlahan tapi pasti mulai menggurita. Atau FB. Dipandang sebelah mata karena sudah eksisnya Friendster (duluuuu), nyatanya saat ini jauh lebih sangat eksis dan masih terus konsisten kembangkan fitur yang masih saja menarik pengguna baru. Satu sisi, perkembangan ini memberikan resiko kurang fokusnya pengguna dengan tujuan utamanya memanfaatkan akun-akun ini. Satu hal yang sulit dihindari, karena mengekor selera, masing-masing orang (pemlik akun) tak bisa benar-benar di dikte. Berkicaulah di Twitter saja, nyatanya akun Tw terkoneksi FB dan kicauan pun terpasang juga sebagai update status. Berdaganglah di Instagram (IG), sama saja, foto yang sama masih bisa pula muncul di FB. Kirimkan resume atau setoran artikel di email, beberapa bos, lebih praktis meminta diinbokkan ke akun FB mereka. 

Pembelajaran apa yang bisa di ambil? Bahwa, akun-akun ganda jadi tak terelakkan. Namun, yang lebih eksis tentunya yang lebih bisa fokus dan terarah. Salah satu ulasan Headline kemarin menggambarkan dengan baik resiko ini. Lantas?

Pilihan kembali ke Anda semua. Kita. Saya pribadi masih belum sanggup entaskan akun-akun sosmed nan banyak ini. Terbesar, karena setoran pekerjaan saya masih melalui salah satunya. Pun promosi-promosi update tulisan terbaru. Belum sanggup menjadi si outsider. Seseorang yang fokus di akun-akun online terbatas, dus cenderung menjadi lebih eksklusif. Kekhususan yang berujung pada kualitas yang lebih baik. Plus tentu saja bayaran yang beda (baca: lebih tinggi).

Meski penghasilan dari dunia kepenulisan saya angle-nya sudah semakin spesifik, travelling dan memancing (fiksinya masih dalam proses ikhtiar ^_^ ), saya masih si sosmed akun freak. Menjual diri dan tulisan-tulisan saya, tersebar mulai dari Linkedin, Google+, FB, Twitter. Instagramnya bu? Andro saya masih under spek. Masih menunggu Samsung S7 Edge. *eh

*Selong 18 April

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun