“Ish, diculik koq pasrah.”
Beda waktu satu jam dengan di Lombok. Namun tawa kami berbalasan riang. Kukira suaminya Ranti masih di luar kota. Sebentar lagi tengah malam, obrolan kami tak terhenti. Tentang banyak hal, kecuali tentang bapak dan ibu. Ibuku. Atau ibunya yang telah meninggal.
***
Assalamu’alaikum, abah dan umiku bersedia penuhi undanganmu. Hari ketiga puasa ya. Di resto dekat rumah saja. Cuma jarak dua blok, naik taksi tak sampai sepuluh menit sudah sampai. Di depannya juga ada masjid kecil. Jadi abah bisa selesaikan fardhu dan tarawih dulu sebelum lanjutkan makan malam. Oia, paket bakpianya harus segera sampai ya?!
Pesan panjang dari Aluy di pagi berikutnya. Baiklah, Ranti, orang tua Aluy sudah terima undanganku. Tinggal menunggu kepastian cuti mas Bagas demi yakinkan orang tuanya berkenan lewatkan hari-hari awal puasa di Lombok. Kalau pun tak peroleh cuti, menjemput mereka ke Malang dan berangkat bersama ke Lombok sangat tak masalah buatku.
Kurang dari tiga minggu lagi. Mengandalkan mas Bagas saja untuk memastikan ibu dan orang tuanya ikuti rencana besarku terlalu beresiko. Harus ada cara tambahan. Tapi apa?
“Bu, gudeg yang kemarin hanya tinggal sedikit. Apa masih mau dipanaskan?”
Ah, gudeg!
“Bibi, hari ini tak usah masak ya. Temani saya ke gudeg Yu Djum. Saya mau kirim beberapa ke Malang dan Lombok. Terus, tolong ingatkan mampir juga ke toko bakpia yang paling enak.”
Bergegas, aku dan Bi Ratmi memutari kota. Terakhir, rela antri di kurir kirim tercepat. Beberapa paket lain, kuliner khas Bandung dan Semarang aku pesan melalui aplikasi online. Total ada lima kuliner khas berbeda yang kupaketkan ke Malang dan Lombok. Seharusnya, hadiah dadakan ditambah jemputan tiba-tiba akan sulit ditolak mertuaku di Malang, dan ibu.
“Wah, gudeg lagi? Kalau tak salah ingat, semalam juga pakai lauk gudeg. Iya kan Fairuz?”