Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pembelajaran Empati via Solo Travelling

10 April 2016   20:23 Diperbarui: 10 April 2016   20:44 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="DokPri. Saat nikmati dan telusuri jalur pedesaan di Kecamatan Kempo, Dompu NTB."][/caption]

Seperti di banyak tulisan saya lainnya selama enam bulan terakhir aktif menulis di Kompasiana, pengalaman bermilis hampir lima belas tahunan lalu kerap menjadi sumber atau inspirasi tulisan saya. Termasuk di topik khusus admin K kali ini, yaitu solo travelling. Salah satunya, kebisaan beberapa maskapai di'pasrah'i penumpang anak-anak terbang sendirian, dengan catatan akan dijemput keluarga dekatnya saat tiba di bandara tujuan.

U wow! Saya sangat mengagumi keberanian para orang tua yang memilih jasa ini, dus lebih kagum lagi pada kepercayaan diri yang tinggi dari si anak. Pastinya akan menjadi bekal dasar solo travelling bagi para anak yang pernah --baik terpaksa karena kondisi atau pun karena kesepakatan tertentu dengan orang tua, gunakan jasa ini. Waktu itu, di salah satu milis yang saya ikuti ada orang tua yang berbagi pengalamannya mempercayakan penjagaan anaknya yang terbang lintas kota pada kru pesawat, terutama para pramugari atau pramugara yang umumnya berinteraksi langsung dengan penumpang.

Saking terkesannya saya, tak sekali dua saya bayangkan putri sulung saya melakukan hal tersebut. Terbang dari Semarang, transit sebentar di Juanda Surabaya kemudian landing di Rembige Lombok (saat itu, Bandara Internasional Lombok belum ada). Entah harus bersyukur atau tidak, sampai pun kembali menetap di Lombok, putri sulung saya tak (mungkin belum) pernah terbang sendiri.

Sempat diskusikan topik ini bersama suami saya, sekian kali pengalaman travelling (baca: trip mancing) saya hampir selalu bersama keluarga. Minimal berdua suami. Solo travelling memang sudah pernah saya lakukan. Tepatnya Juli 2003. Hanya saja, karena perjalanan tersebut saya lakukan dengan berbekal tiket bus AKAP Mataram ke Semarang, rasa-rasanya masih jauh dari ekspektasi muatan kata 'solo travelling'. Mengapa? Kesendirian praktis terasa hanya saat berada di atas kapal penyeberangan pelabuhan Lembar ke Padang Bai Bali.

 Saat itu, saya mengulang 'keberuntungan' kedua saya, tujuh jam menunggu antrian sampai kapal sandar di pelabuhan dus bis yang saya tumpangi bisa lanjutkan perjalanan. Ah, baru teringat. Kesendirian total kedua yang saya alami, ketika bis akhirnya menyusuri jalan-jalan raya di kota-kota besar di Jawa, tontonan di bis adalah pengajian berbahasa Jawa. Meski berhasil yakinkan diri bahwa saya masih di Indonesia, satu-satunya kata yang saya pahami dari tontonan tersebut hanya 'nggih' dan 'sampun'. Di dua momen sendiri ini, tanpa walkman manalagi gadget berisi play list favorit, diam itu memang sungguh emas. 

Kembali ke kekinian, pengalaman bekerja di Dompu NTB selama enam bulan setahun lalu mengharuskan saya pulang pergi nikmati cuti, juga ber-solo travelling. Lagi-lagi bagi saya di bawah ekspektasi frase topik, karena saya menumpang bis AKAP dengan kapal menyeberang selat Alas (pemisah pulau Lombok dan Sumbawa) kurang dari satu jam. Sampai di perempatan jalur utama propinsi terdekat, rekan kerja saya sudah stand by dengan motor penjemput. 

Namun, perjalanan naik bis dengan rentang waktu enam sampai delapan jam perjalanan tetap berikan kesan perjalanan tersendiri bagi saya. Sudah lewati masa merawat dua bayi yang telah melewati masa balita mereka, rasa-rasanya semacam naluriah alami bawaan ibu ketika dapati teman sebangku atau satu bis mendapat sedikit kesulitan. Misal, suatu kali, saya beruntung dapat kursi di barisan pertama persis setelah pintu masuk. Cewek ABG teman sebangku saya cukup cantik. Ketika akhirnya duduk, si cantik ini sedang lelap tertidur. Dua kaki mungilnya yang putih nangkring sama cantiknya ke pembatas besi persis di depan kami. Berusaha maklum, saya duduk secukupnya agar si putri cantik yang tidur tetap dalam lelapnya.

Selang dua jam selepas lewati pintu gerbang pelabuhan Poto Tano Sumbawa, si putri cantik penidur mendapat telpon. Mengingat sebangku, tanpa harus kepo sekali pun, pembicaraan cukup jelas di telinga kiri saya. Si abg cantik enggan makan, sudah mulai keringat dingin dan ingin tidur lagi. Upayanya meredam mabuk kendaraan. Syukurlah, tak lama bis sampai di peristirahatan pertama, sekaligus jatah makan bagi semua penumpang bis. Teguh hati sendiri, saya makan sedikit dan cepat, memastikan urusan toilet benar-benar tuntas. Saya selalu sangat malas gunakan toilet bis, terutama karena efek goyangnya yang nggak banget. 

Kembali nikmati berjalannya bis, si abg cantik ternyata malah semakin mabuk. Pede saya sapa duluan, saya tawarkan dua piranti wajib saya yang cukup ampuh atasi mabuk. Fresh care botol biru dengan jargon sportif di kemasannya dan botol kecil minyak kayu putih. Tambahkan kalimat tegas, saya paksakan usap punggung dan perutnya dengan minyak kayu putih di dua telapak tangan. Terakhir, saya yakinkan juga bahwa saya tak masalah jika ia muntah, pun saya angsurkan plastik kecil dari salah satu kantong ransel saya. Alhamdulillah, ketika akhirnya turun di Manggelewa Dompu, tanpa pun tahu namanya, si abg cantik sampaikan terimakasih.

Hampir lima kali bolak-balik Selong ke Dompu, saya dapatkan bahwa siapa pun teman sebangku yang saya peroleh, apa pun kondisinya menjadi bukan masalah besar ketika saya menghadapinya dengan empati tinggi. Kembali ke perjalanan jodoh saya ke Semarang belasan tahun lalu, seorang ibu yang membantu saya dengan ijinkan menginap di rumahnya tekankan, 'Saya membantu kamu begini, dengan harapan, entah kapan bisa jadi anak cucu saya lah yang butuhkan bantuan. Jika bukan saya yang dapatkan balasannya, semoga hukum semesta membayarnya pada anak-cucu saya'.

Empati pula yang mendorong siapa pun yang luangkan waktu bergabung di milis-milis, grup-grup, forum-forum atau fan page rela ketikkan informasi panjang atas pertanyaan yang bisa mereka jawab. Misal, grup traveller lintas dunia, Couch Surfing. Tadinya saya sempat membuka opsi menerima serta kesanggupan menemani siapa pun yang mengunjungi Semarang. 

Sekali waktu, seorang pria Amerika tinggalkan pesan privat, ia minta ijin tinggal di kontrakan saya. Sebagai balasan, ia sanggup menjadi chef dadakan dengan makanan yang ia yakini pasti akan sangat disukai keluarga kecil saya. Namun, karena tak dapatkan ijin suami, akhirnya opsi tersebut saya tutup. Saat ini saya sebatas berikan atau berbagi informasi sesuai pengalaman pribadi atau yang saya cukup paham lekuk liku destinasi wisata, objek tanya para anggota grup tersebut.

[caption caption="DokPri: Bersama rekan-rekan Couch Surfing di Lawang Sewu Semarang."]

[/caption]Di luar trip memancing, ke depan, keluarga saya akan harus terbiasa dengan perjalanan Lombok menuju Semarang. Pun sebaliknya. Bukan tak mungkin, akhirnya salah seorang anak saya akan lakukan solo travelling. Mungkin tidak dalam 'skenario' jodoh seperti pengalaman solo travelling pertama saya. Namun semoga, adalah salah satu perjalanan hidupnya yang ajarkan mereka betapa tak meruginya berempati. Tak selalu pada kisah-kisah sedih. Bisa saja sebatas senyum hangat atau pembiaran pada sikap-sikap teman sebangku dengan pilihan mereka. Entah sama percayanya bahwa diam adalah emas, atau yang membikin iri, sanggup habiskan satu novel selama perjalanan.

Salam travel.

*Selong 10 April

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun