Aku dan ibu akhirnya berkunjung ke rumah Ranti di Mataram. Ibu –sekarang, bercucu lima orang, tiga anak perempuan yang cantik-cantik dan dua anak lelaki yang sama gantengnya. Senyum samar ibu di kunjungan pertama, semoga persetujuan yang baik. Terutama bagi Ranti. Atau bagiku?
(Epilog Aluy 14).
Tiba waktu makan siang bersama, mas Bagas dan suami Ranti memisahkan diri dan melanjutkan berbincang selepas tunaikan sholat dzuhur berjemaah. Aku harus berulangkali mengingatkan Fairuz agar tak terlalu banyak makan. Ranti benar. Masakannya berlipat kali jauh lebih enak. Tanpa sungkan, aku meminta dibungkuskan sate pusut, gurami bakar kecap dan ayam bakar madunya. Aku yang sedang tak sholat, membantu Ranti membungkuskan makanan yang kuminta.
“Aku ingin sekali ngopi bareng kak Putri. Tapi sepertinya kak Putri selalu habiskan waktu bersama keluarga…”
“Mengapa tak buat sekarang saja? Tapi kalau boleh, aku minta kopi hitam tanpa gula.”
“Ibu?”
“Biasanya ibu habiskan waktu cukup lama selepas sholat. Satu dari banyak kebiasaan beliau saat masih bersama bapak. Jadi, kita masih punya satu jam untuk berbincang.”
Sambil membuka salah satu lemari atas, Ranti memastikan ulang, “Aku ada beberapa kopi bubuk dari beberapa kota Indonesia. Terakhir, suamiku membawakan kopi Toraja mentah. Biasanya kami sangrai dan grinding sendiri. Kak Putri mau coba yang mana? Kopi Gayo, Tambora…”
Ranti menarikku dan memintaku membaca sendiri deretan toples kaca berisi kopi bubuk hitam.
“Kukira aku butuh Toraja. Kuingat aku terjaga cukup lama ketika terakhir meminum kopi ini…”
“Oia? Aku tak tahu kopi ini berikan efek begitu. Cuma ini memang favorit suamiku juga. Terutama saat harus selesaikan proposal atau meeting online panjang dengan klien-kliennya.”