“Ibu, kami akan sampai tengah hari. Kalau bibi Maryam tak repot, tolong masakkan gurami asam manis kesukaan anak-anak. Oia, apa ada lagi oleh-oleh lain yang harus aku bawakan?” Semalam sebelum berangkat ke Lombok, aku menelpon ibu.
“Bakpia pathok yang aneka rasa kamu tambah lagi saja. Satu dus besar. Masukkan bagasi, jadi tak perlu repot-repot kamu tenteng. Satu lagi, maaf ibu lupa pesan lebih awal, satu pashmina hijau bisa kamu belikan di bandara kan? Motif biasanya kesukaan ibu.”
Ibu benar. Aku pun terlupa. Beberapa pashmina lagi bisa menjadi hadiah bagi Ranti, juga mama mertua di Malang. Motif batik klasik selalu di sukai mamanya mas Bagas. Untuk Ranti, motif klasik dengan sedikit semburat ungu? Aku masih selalu tersenyum dengan kesukaanku atas pilihan paduan hitam serta ungu terong muda, pakaian Ranti di pertemuan keluarga pertama dulu. Bibi Maryam juga dan paman Muis tentu. Duh, aku jadi merasa berlebihan dengan euphoria akan bertemu Ranti dan keluarganya.
“Baik ibu. Satu lagi, Jumat pagi kami akan ke Malang. Mengingat puasa tahun ini berdekatan dengan libur akhir anak-anak, kurasa bisa laksanakan hari-hari awal puasa di rumah ibu. Jadi, libur singkat sepekan ini, anak-anak bisa berkumpul dengan dua neneknya.”
Sekali ini harus aku tegaskan di awal, keluarga besar mas Bagas di Malang sama berhaknya seperti ibu. Habiskan waktu selama mungkin dengan Manna, Salwaa dan Fairuz.
--Bersambung--
*Selong 25 Maret
#1 | #2 | #3 | #4 |#5 | #6 | #7 | #8| #9 | #10
Olah diksi ini meramaikanEvent Tantangan 100 Hari Menulis Novel Fiksiana Community Kompasiana.