[caption caption="Tantangan 100 Hari Menulis Novel-Fiksiana Community (Skrinsot)"][/caption]
Sibuk begini, masakanku sebenarnya jauh lebih enak dari makanan di lesehan kemarin. Aku harus memasakkan tiga keponakanku dengan masakan terbaik - Pesan panjang Ranti, penerimaannya untuk kunjungan keluarga Baiq.
(Epilog Aluy 12)
“Wah, serasa makan di Lombok nih. Aha, ada mendoan juga. Ayah lapar, ayah lapaaarrrrrr,” goda mas Bagas saat bersiap makan malam.
Manna dan Salwaa tersenyum simpul sementara Fairuz ikut terkekeh-kekeh senang. Empat tusuk sate pusut sudah diamankannya sejak awal. Di depannya, semangkuk sup sayur komplit tersaji terpisah. Sejak mengenal makanan padatnya, Fairuz selalu mencintai aktivitas makan. Tak ada makanan yang tak disukainya benar.
“Maaf, bunda mau bicara sebentar. Di libur tengah semester nanti, meski hanya menginap tiga malam di rumah nenek di Lombok, kita akan berkunjung ke rumah tante Ranti,” sembari tersenyum simpul aku sampaikan kesediaan dan undangan terbuka Ranti.
“Waaaahhhhh, tante cantik. Tante yang cantiknya kayak bunda…,” Fairuz merespon paling semangat.
Aku mengerling ke mas Bagas, apa sekarang saja ceritakan pada anak-anak bahwa Ranti adalah bibi kandung mereka? Oh, aku teringat janjiku sendiri. Nanti saja. Terbiasa bersilaturahmi dengan banyak teman atau sahabatku, seperti Aluy dan keluarga kecilnya, rasa-rasanya hubungan hangat dua keluarga jauh lebih membahagiakan bagi anak-anak. Mengetahui bahwa mereka saudara sedarah, kukira, jauh lebih bisa mereka pahami saat dewasa nanti.
***
Libur sekolah anak-anak tak jauh berbeda dengan momen libur panjang saat lebaran. Membagi dua momen libur tersebut, sekian hari di Lombok dan sekian hari di Malang. Meski seringkali tak ditemani mas Bagas terutama karena jadwal meeting serta cuti yang tak bisa seperti karyawan kebanyakan, dua kebiasaan rutin tersebut telah biasa ku lakukan bersama anak-anak.
Sebaliknya, hadiah cuti panjang dari kantor mas Bagas akan kami manfaatkan untuk berlibur ke luar negeri. Tentu saja ke lokasi-lokasi wisata favorit anak-anak. Kecintaanku sendiri masih tertinggal di jejak yang tak bisa benar-benar terhapus di beberapa puncak tertinggi, gunung-gunung di Indonesia. Jejak pendaki lain, tua muda, kembali dan kembali tapaki jalur yang sama. Bahkan mungkin mencoba jalur baru, dan perulangan yang sama seperti pada jalur lama. Sudah hampir lima belas tahun tak melakukannya. Namun aku percaya, ketika misalnya Manna atau Salwaa akhirnya tertarik trekking ke gunung, dua tungkai panjangku sanggup temani mereka.