Ketika semakin akrab dengan Aluy, bapak dan ibu sering mengijinkanku menginap di libur panjang semester perkuliahan di rumah Aluy di Mataram. Suatu hari Aluy mengajakku mengambil beberapa kemasan kue tradisional khas Lombok, katanya ke rumah babahnya (nenek). Aluy berkeras, aku harus membawa beberapa sebagai oleh-oleh saat aku kembali ke rumah.
“Baiq, kenalkan. Ini umi Sri, ibu keduaku. Yang ini Hani dan Magda, dua adik perempuanku dari umi Sri,” santai Aluy berucap.
Sekian jam bersama mereka, bertukar cakap, suasana yang cair melunakkan segera keterkejutanku. Meski tinggal terpisah, jamak mereka bertiga berkunjung ke rumah babahnya Aluy. Pun sebaliknya. Aluy selalu ringan hati dan langkah, kunjungi rumah umi Sri mengantarkan apa pun. Entah dari abahnya, pun dari umi Aminah ibu kandungnya.
Kehangatan serta kebersamaan yang mematikan setiap pertanyaanku, sekian puluh tahun sejak hari itu. Tak saja interaksi yang biasa di keseharian di kampung, baik umi kandung Aluy pun umi Sri, sama memiliki toko sendiri di kompleks perdagangan di Cakranegara.
Otak dan hatiku tak lagi sepenuhnya nikmati alur kisah film yang sedang kutonton. Keras kehembuskan nafas, tak hendak turutkan pikiran, berandai-andai jika almarhum bapak kenalkan istri keduanya dan Ranti lebih awal.
Mungkin, satu pertemuan bersama mampu menjawab sebagian pengandaian tertolak ini. Makan siang bersama dengan mas Bagas dan anak-anak. Setidaknya aku bisa memastikan, apakah Ranti sudah menikah. Berapakah saudara sepupu anak-anakku. Mungkinkah kami masukkan alamat rumahnya untuk kami kunjungi di setiap hari keluarga, tiga hari di awal bulan Syawal, rayakan kemenangan selepas berpuasa wajib Ramadhan sebulan penuh. Rentetan pertanyaan yang seharusnya beroleh jawab, jika sekali ini aku bertukar cakap dengan Ranti. Adik kandungku. Adik perempuan.
--Bersambung--
*Selong 23 Maret
#ALUY 1 | #ALUY 2 | #ALUY 3 | #ALUY 4 | #ALUY 5
Olah diksi ini meramaikan Event Tantangan 100 Hari Menulis Novel Fiksiana Community Kompasiana.