[caption caption="Kredit Foto Oleh: ranseltiket.wordpress.com"][/caption]Kau selalu tahu, ketika kita berjarak, masing-masing kita sibuk saling memikirkan: benarkah bertahan? Kuatkah kita mencoba terus bertahan? Berhargakah setiap usaha kita bertahan?
Kemudian kau dan aku tahu, ketika kita tak berjarak, pun buah cinta kita, masing-masing kita tak lagi berpikir.
Kuharap kau selalu tahu, kita berdua masih sama manusia memiliki rupa-rupa rasa.
Nyata yang kutahu, begitu sering jiwa kita terpisah, hingga pun nada-nada meninggi. Membuatku semakin sering mematikan satu per satu inderaku. Tak melihat kecuali yang harus kulihat. Tak mendengar, kecuali detak jantungku sendiri. Tak berucap jika balasannya, kembali, ribuan tusukan belati terwakil pada huruf-huruf.
Kuharap kau selalu tahu, indera tersisa di sekujur kulit pembungkus tubuhku, tak bisa kubunuh. Ialah pengantarku pada akhir yang kuharap baik. Ialah pengucap cinta tak bersyaratku bagi buah cinta penyambung darah. Darahmu. Darahku. Rupa-rupa rasa yang kujalin di otak dan hati, tak selalu terturut indera di kulitku. Jadi, ketika kembali kau meragukanku, sentuhlah saja. Ialah yang takkan berbohong. Bicaralah saja dengannya. Dengarkan ia. Tatapi.
Jadi, sejatinya aku, rumah rupa-rupa rasamu. Selamanya rumah buah cinta kita.
Jika pun mulutku berucap, ‘buatkan untukku rumah di atas bukit, untukku bisa belai pucuk daun pinus yang enggan ditinggalkan embun’…Iyakan saja. Rumah didalam rumah, ruang tak berbatas bagi pecinta.
*Selong 15 Maret
God Bless - Huma Di Atas Bukit
Olah diksi ini untuk memeriahkan HUT Perdana Rumpies The Club: Bulan Apresiasi Sastra RTC di K.
FF200 Kata - Senandung Lelap - Minggu Pertama.