Mohon tunggu...
Muslifa Aseani
Muslifa Aseani Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Momblogger Lombok

www.muslifaaseani.com | Tim Admin KOLOM | Tim Admin Rinjani Fans Club

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tabuhan Cinta Gendang Beleq #2

26 Januari 2016   12:05 Diperbarui: 26 Januari 2016   18:37 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber FOTO

Sore biasa dari sekian ratus hari yang biasa. Teras Pak Abu ramai oleh riuh suara dan canda anak-anak. Sebagian besar anak SD, beberapa balita yang disambi rutinitas makan sore, wangi dan putih wajah mereka oleh sapuan bedak sisakan sedikit bekas minyak di seputar mulut. Beberapa abg tanggung memilih duduk di bok, tak jauh dari teras. Di sini sepi nyinyit, yang sibuk hanya jejari dan wajah mereka yang terpaku pada layar HP berbagai warna. Pak Abu pensiunan guru sekolah SD yang terkenal seantero kampung. Bertahan tinggal di rumah besarnya yang berarsitektur Belanda dengan cat putih bersih serta bagian bawah dari tempelan batu kali yang selalu mengkilat. Teras yang luas berisi dua buah kursi kayu panjang, beberapa kursi plastik, tiga baris tembok yang selalu cukup untuk siapa pun tetangganya ingin nimbrung, meramaikan. Setiap sore dari sekian ratus hari yang biasa.

Teras nan luas akan sepi ketika para anak SD serta balita dengan ibu atau bibi pendamping mereka memilih berpindah ke satu rumah lainnya. Rumah Pak Lalu Surtikanti, lebih akrab dipanggil Miq Cung, pemimpin grup Gendang Beleq 'Pewikan Dewa' di kampung ini. Liukan merdu suling, kejutan yang semakin riuh dan ribut karena ditingkahi suara tawa pun tangis para balita ketika 'kenceng' mendadak tertepuk, atau keheningan menggantung ketika padu padan semua alat musik berpadu ritmis. 

Di lain hari, masih di sore biasa dari sekian ratus hari yang biasa. Yusuf, Anti, Selma, Widya, Alan dan Rizky, para siswa SD yang sepantaran habiskan waktu, kembali di teras Pak Abu. Sekali ini tak ada para balita, pun para ABG di bok depan. Hanya ada Pak Abu sendiri di sudut barat teras, membaca koran lokal harian, sesekali meningkahi para anak-anak tersebut.

Anak-anak perempuan memilih berdempetan memenuhi kursi kayu panjang di arah sebaliknya dari kursi Pak Abu. Sesekali mereka berbisik sendiri, merasa lucu sendiri dengan keasyikan Pak Abu membaca. Sepertinya gerak-gerik wajah Pak Abu yang mengangkat wajah ketika mengawasi mereka serta kacamata baca yang seolah-olah hendak terlepas dari ujung hidungnya tampak lucu. Yusuf, Alan dan Rizky tak jenak. Tak henti menjawil, mengetes kadar ketahanan geli masing-masing mereka, berpindah sekian puluh kali dari kursi kayu panjang satunya, pun sekian kursi plastik yang kosong tak terduduki. Polah mereka bertiga yang membuat Pak Abu tak konsen membaca.

Sekali waktu..

Brak!

"Hahahahahaha...!"

Teras luas tersebut pecahlah sudah oleh riuh tawa. Alan terduduk di lantai, Rizky dan Yusuf memegangi bersama satu kursi plastik sambil riuh tertawa. Para anak perempuan tak lagi perhatikan Pak Abu, mereka pun tenggelam dalam lautan tawa membahana.

Pak Abu hanya melengos dan menggeleng-gelengkan kepala, "Anak-anak....."

Sekian menit, tawa tetiba terhenti. Sunyi menggantung. Pak Abu kembali mengangkat sepasang matanya, "Apalagi ini..."

Rizky dan Yusuf sedang menunduk memegangi Alan, bahasa tubuh mereka tak lagi menggambarkan kelucuan.

"Ada apa anak-anak?"

"Toloooonnggggg, kenapa jadi gelap? Rizky, Yusuf, mata aku. Tolongggggg..."

"Alan, ada apa?"..Kali ini  Pak Abu beranjak mendekat. "Matamu kenapa nak?"

"Pak Abu, saya tak bisa melihat..Kenapa ini," dua tangan Alan menggapai, menggosok dua matanya, bergerak-gerak di depan wajah. Mimiknya bingung sangat.

"Tak bisa melihat bagaimana nak? Ini bapak di depanmu persis.."

Dua tangan Alan mendarat di dada Pak Abu, "Pak Abu, tapi saya tak bisa lihat bapak. Tolong saya, mata saya kenapa..."

"Astagfirullah, kenapa ini. Anak-anak! Ayo, tolong panggilkan ibunya Alan. Sini nak, bapak bantu berdiri..."

Alih-alih mengangkat badan, Alan membalas dengan rintihan berikutnya, "Pak, punggung saya sakit. Mata saya....Ibuuuuuu..."

Rizky dan Yusuf pasi. Digamit teman-teman perempuan mereka, berlima mereka berlarian. Ibu Alan harus segera dikabari.

***

Teras luas Pak Abu telah sepi sekian hari. Udara yang terbiasa mengakrabi suasana di sore-sore sebelumnya membaui kesunyian dan kesedihan mendalam. Di teras ini, Alan, si pemegang 'kenceng' grup Gendang Beleq 'Pewikan Dewa' tervonis buta.

Foto:DokPri.

Hentakan keras tulang ekor Alan pada ubin lantai teras berikan efek mengerikan. 

Pak Abu tak lagi  duduki kursi bacanya di sudut barat teras. Setiap sore, beliau memilih membacakan kumpulan dongeng buat Alan, ikhtiar suntikkan semangat agar ia tetap mau bersekolah. 

Sampai suatu sore...

"Pak Abu, saya ingin ikut latihan  Gendang Beleq lagi. Tapi tolong ditemani ya pak. Saya masih harus belajar ulang arah jalan ke rumah Miq Cung.."

"Subhanallah..Iya nak. Pak Abu temani. Sekarang?"

Alan mengangguk. Senyumnya mengembang. "Kalau nanti di sana ada Rizky dan Yusuf, tolong bilang ke mereka agar duduk di samping saya ya pak. Mereka masih selalu teman terbaik saya.."

"Iya nak, iya...," Alan tak melihat, sepasang mata tua Pak Abu berlinang.

Foto: DokPri.

Sejak masih  TK, Rizky, Yusuf dan Alan memang dilatih sebagai pemegang 'kenceng'. Tragedi di sore sepekan sebelumnya, tak hapus kebersamaan bahagia mereka tertawa bersama saat menggoda para penonton latihan dengan tepukan kencang 'kenceng'. Atau senyum simpul saat berhasil sempurnakan padu padan tembang-tembang 'Gelung Perade', 'Kadal Nongaq' atau lirisnya 'Angin Alus'. Meski dunia Alan sekarang menghitam di segala pandangan, jiwanya yakin masih selalu beroleh bahagia. Bahagia untuk tetap hadirkan senyum, saat 'kenceng' tertepuk,meningkahi liukan suling, gemulai 'Terumpang' dan ritmis tabuhan menggelorakan jiwa dari sekian 'Gendang Beleq'.

*Selong 26 Januari

Tulisan ini dipersembahkan dengan 'Simpati mendalam pada keluarga dari anak SD yang menjadi buta karena jatuh akibat kursi yang hendak didudukinya ditarik oleh kawannya, demi bercanda serta tawa bersama'. Satu kabar yang lewat di dinding akun FB saya pagi ini.

Referensi:

- Kearifan Nilai Budaya Perangkat Gendang Beleq.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun