Dokumen Pribadi
Tak sampai berjeda sebulan, pun merasa cukup beruntung bagaimana salah satu stiker promo kegiatan tahunan masyarakat kecamatan Pringgabaya kabupaten Lombok Timur masih melekat erat di salah satu tembok ruko. Beberapa bangunan permanen, hanya seratusan meter dari tepi pantai Tanjung Menangis dan Ketapang. Hujan sudah beberapa kali membasahi tanah di sebagian besar wilayah kabupaten yang berbatasan langsung dengan Selat Alas. Namun tetes airnya tak menyentuh sedikit pun stiker promo event tahunan tersebut. Memastikan saya segera mengabadikannya, untuk kemudian berjanji sendiri, sekali waktu akan nimbrung di keseluruhan ritual Rebo Buntung yang tersebut sebagai salah satu kegiatan.
Hampir pukul sebelas, Minggu 3 Januari lalu. Saya dan seorang bibi berhasil meyakinkan sebagian besar rombongan untuk berdiam saja di berugak di halaman tempat kami memarkirkan mobil Luxio sewaan Rp 300.000,- per hari dengan sewa parkir lima ribu rupiah. Mobil kami mobil ke dua di halaman tersebut. Namun, rombongan pesepeda motor anak-anak ABG dengan satu sedan berisi lima abg lainnya (mereka berkaos seragam) sudah sejak satu jam terakhir beradu kecepatan dengan mobil kami.
Bermobil sekira satu setengah jam dari kota Selong, ibukota Lombok Timur, meski memilih jalur masyarakat setempat yaitu sisi jalan yang persis di samping pasar tradisional Pringgabaya, rombongan ABG berkaos hitam semacam memiliki pertimbangan yang sama. Mobilisasi searah menuju Pantai Ketapang dan sampai di parkiran kurang dari satu jam selepas belokan. Di pasar ini pula siapa pun bisa membeli ikan laut segar untuk menambah jenis lauk.
Bahkan sebuah kijang merasa perlu berteduh di bawah satu pohon.
Setengah jam perjalanan dari belokan pasar, kiri kanan masih penuh areal persawahan. Satu petak yang ditanami bawang merah menjadi bahan pembelajaran bagi putra saya yang lima tahun. Tumpukan jerami kering di sela hijau petak-petak berisi padi muda, memaksa memori saya menyeberang ke sabana Doro Ncanga. Bahwa mungkin batang-batang jagung sisa panen saat musim tanam jagung usai, bisa pula ditumpuk begitu untuk menjadi pakan alternatif ternak penduduk yang di lepas di sabana. Musim kering sabana Doro Ncanga kabupaten Dompu terkadang hanya sisakan coklat tanah, pun bayang ranting kering dari pokok-pokok bidara yang berusaha bertahan hidup.
Tak berhasil redam panas yang semakin menyengat di hari dengan terik yang meninggi, sebagian besar rombongan keluarga bersepakat pindah tempat ke spot renang lain. Jobong, beberapa petak kolamnya dinaungi berbagai pohon rindang dus air yang bersumber dari mata air setempat menjanjikan kesejukan lepel dewa. Apa lacur, tumpah ruah manusia tak berikan sedikitpun sisakan celah. Mobil dan dua motor akhirnya meneruskan ke pantai Labuhan Haji, Lombok Timur. Tak berbeda jauh, bahkan barisan perahu pun 'mengalah'.Â
Mandi air laut atau pelesir di atas perahu, berlatar lereng timur Gn. Rinjani (Tanjung Menangis).Â
Kembali ke ritual Rebo Buntung, beberapa urutan ritual dilakukan selama sepekan. Pertama, Tetulak Desa. Kedua, Tetulak Gubuk. Terakhir, Tetulak Otak Reban. Penamaan Rebo Buntung karena puncak perayaan dilaksanakan pada hari Rabu terakhir bulan Safar (kalender Hijriah), dimana hari ini juga langsung sebagai awal dari bulan berikutnya yaitu Rabi'ul Awal. Sehingga sering dianggap Rabu Buntung (Buntung: Terpotong, Sasak).
Urutan ritual sendiri dimulai sejak bulan Muharram. Tetulak Desa pada Rabu sebelum 10 Muharram, tujuan utama sebagai Tolak Bala. Tetulak Gubuk biasanya bersamaan dengan Tetulak Desa, namun lebih khusus pada kampung-kampung (gubuk:kampung, Sasak) dengan pelaksanaan selepas Ashar sampai menjelang Maghrib (sekira 4 sampai 6 sore). Tetulak Otak Reban dilaksanakan di hari yang berbeda dengan dua ritual sebelumnya, namun tetap berpatokan di hari sebelum 10 Muharram. Misal dua ritual (Tetulak Desa dan Gubuk) pada hari Rabu, maka Otak Reban pada hari Senin, atau sebaliknya. Pelaksanaan ritual ketiga ini di semua mata air yang terdapat di pedesaan Pringgabaya.
Pada 2015 lalu, ritual Rebo Buntung dilaksanakan dua kali. Bukan tidak mungkin, di sepanjang 2016 nanti, ritual sama bisa jadi dilaksanakan dua kali juga atau lebih. Yang jelas, dari momen libur terakhir saya bersama keluarga besar dua hari lalu, pastikan stok air anti dehidrasi Anda cukup banyak. Pun stamina terjaga untuk bisa ikuti semua prosesi ritual Rebo Buntung.
Saya pribadi masih harus menunggu stiker event sama segera tertempel entah di tembok ruko di pantai yang mana. Anda tidak sedang di Lombok? Pastikan panteng akun K-ers saya, di 2016 ini, saya pun tak ingin lagi melewatkan momen keramaian plus tebaran nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Pringgabaya Lombok Timur di sepanjang prosesi adat Rebo Buntung mereka.
Terpisah, masyarakat pesisir di pantai Tanjung Luar Lombok Timur pun memiliki ritual mirip yang lebih dikenal sebagai Nyalamaq Dilauk. Seperti apa? Di ulasan yang lain yaaa.
Â
* Selong 6 Januari.
* Semua foto Dokumen Pribadi.
Referensi:
- Rebo Buntung, Andalan Pringgabaya
- Tatulak Tamperan dan Rebo Buntung, Tradisi Masyarakat Pringgabaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H