Bagaimana bisa manusia pecinta kata, bisu?
Kata-kata yang diakunya penuh-penuh dalam cinta tak seharusnya terwakilkan dalam bisu, pun jejari yang menari di cetak huruf, kemudian menjadi kata.
Sepi hanya milik si mati. Â
Sunyi cuma karib para pemimpi.
Kau beri tahu siapa pun, percintaanmu dengan kata amatlah sungguh indah dalam kesunyian.
Bersama sepi, liar matamu raih kata terindah pun mungkin yang paling busuk.
Bersama sepi, hatimu merupa kawah di titik panas tertinggi.
Dibakarnya kata-kata tak berangka, serupa api penyucian Dewi Shinta untuk pantas bersanding --kembali, disamping Sang Rama, kata yang kau pilih haruslah sempurna.
Jika sakit yang kau rasa, tak boleh sehuruf pun kadar sakit yang inginmu terbaca, terkurangi.Â
Jika bahagia yang hendak  kau beritakan, kau pastikan setiap tetes darah pembaca kata-katamu bersuka bersama senyum, setelahnya enggan tinggalkan rona hangat wajah mereka.
***
Pecinta Kata dan Jodoh
"Kau datang untuk pastikan tempatmu di hatinya.
Kau merasa harus memilih.
Kau tak suka mendua.
Harus ada yang benar-benar selesai.
Ia sebagai apa yang orang katakan jodoh bagimu, atau masa depanmu demi bangga serta bahagia orangtuamu."
Ia membeku, tapi tak lama.
Segera setelah hitungan waktu yang mengikat --ia dan kau, berhenti, aura melebur.
Tak ada jodoh.
Pun bukan tentang masa depan  atau masa lalu.
Dua masa yang  berbeda, hanya karena akan atau telah, teraih. Kalian lah semesta.
Beranjak sedikit dari sewindu selepas pertemuan pertama, kau dan jodohmu peroleh dua nyawa, nyata perpanjang bayang masing-masing kalian.
Hanya saja, dua nyawa yang kalian jaga --agar tak satu dari mereka lalui pahit yang pernah kalian cecap, tentu sesekali beroleh luka.
Di kepingan lain, masing-masing mereka memiliki kalian--ayah yang menjaga dari keterpisahan pun ibu yang hanya tertawai kadar lucu, di garis yang sama.
Semoga.Â
***
Pecinta Kata, Seliris Apa?
Jika kau baru saja dapati Petrichor, entaskah selaksa wangi yang kau endapkan sengaja dalam-dalam di noktah merah dan putih darah?
Jika kini kau berani sisipkan nyata kata pada kisah-kisah fiksi, mengapa mau kau sembunyikan mimpi?
Kau bukan muara luka, pembenarmu bunuh berjuta kata demi pikirmu yang buruk jadikan mereka bak belati.
Kau bukan pencipta kata, rangkai hanya yang baik, serba cantik nan manis, penenang murka yang kau cinta.
Jadilah saja liar, demimu tetap berasa hidup. Jadilah saja binal, demimu tetap gemulai takluk.Â
Sementara itu, turuti saja hentimu.
Kata-kata tak hanya ada di dunia.
Di sana, di sini, mereka menunggumu.
*Selong 30 Agustus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H