Koleksi Pribadi: Ibu Saya (masih balita, puluhan tahun lalu), Putri Saya dan Saya.
Belasan tahun lalu, saat masih belum menikah, saya tak pernah alpa memeluk dan sampaikan salam 'Selamat Hari Ibu'. Saya berusaha membantu ibu sebisa dan sepesuruhan beliau.
22 Desember 2015 lalu, rupa-rupa warna kehidupan, saya yang telah berputra dua orang, enam orang saudara saya dan hari itu saya juga ibu bersama-sama menghabiskan secobek beberoq kangkung buatan ibu. Makan siang yang sunyi. Diam. Sibuk menyuap, mengunyah dan menelan. Sedikit kecap mulut karena kepedasan, Â namun tentu saja tak bisa berhenti sebelum kangkung terakhir tandas di cobek. Saat menjemur cucian hari itu di belakang rumah, tetangga sebelah terdengar ramai. Sebagian besar putri dan para menantu serta cucu berkumpul. Rumah saya, sepi. Anak-anak tak saya ingatkan untuk ucapkan 'Selamat Hari Ibu'. Saudara perempuan (kami hanya dua perempuan bersama empat lelaki, dengan 2 menantu perempuan) pun tak saya ingatkan untuk datang. Namun saya mengerti, Ibu memahami betapa kami semua, enam orang anak-anaknya yang telah sama berkeluarga, akan selalu ada disampingnya, di banyak hari lain, tak harus selalu di Hari Ibu.
Saya paham, Ibu masih selalu akan mengerti, kami anak-anaknya berusaha keras untuk sekali waktu benar-benar bisa menemani beliau ke satu destinasi wisata favorit keluarga di sisi barat pulau Lombok. Kawasan wisata pantai Senggigi. Meski kota masa kecil kami memiliki destinasi wisata pantai yang cukup dekat, bahkan semasa kecil saya dulu, cukup berjalan kaki selepas berjemaah subuh, pantai Labuhan Haji masih selalu menunggu. Hanya 7km dari rumah kami di sisi timur kota Selong, kota kabupaten Lombok Timur. Hanya perlu berjalan kaki 1 atau 2 km lagi, sisi kiri atau kanan Labuhan Haji, untuk raih pantai yang lainnya.
Janji hati saya, ketika saya dan kakak sulung, pun adik-adik juga seluruh keponakan akhirnya benar-benar bisa temani Ibu ke pantai Senggigi, saya akan sungguh-sungguh yakinkan mereka semua. Tentang keindahan sempurna sunset di pantai Malimbu, masih sekitar satu jam bermobil dari pantai Senggigi. Tentang padu padan  sempurna sampan nelayan, burung camar dan mentari bersaput jingga yang akan menghilang di horizon laut. Tentang maghrib, yang rentan atas perubahan suhu siang menuju malam, pun rentan akan para lelembut yang hantui anak-anak yang candu bermain dan lupa pulang pada ibu-ibu mereka. Tentang ketulusan seorang bibi yang tinggal di pinggir pantai yang sama, timba bergayung-gayung air tawar demi sempurnanya wudhu untuk tiga rakaat maghrib, atau sekedar bilasan segar pada lengketnya asin air laut di tubuh para cucu Ibu saya.
Mungkin belum pada 2015, tapi saya dan Ibu, masih akan sabar bersama-sama menunggu, mungkin nanti. Suatu hari pada 2016.
*Selong 29 Desember 2015
Glossary: