Gelar Munas Kahmi (Korps Alumni HMI) dengan tema: "Bangkit, Bersinergi Membangun Negeri Menuju Peradaban Baru" 24 November di Kota Palu Sulawesi Tengah mengingatkan kita pada bencana 4 Tahun silam, dimana saat ini kondisi penyintas yang belum sepenuhnya pulih  pasca gempa bumi, tsunami dan likuefaksi, September 2018. Bangsa ini baru saja selesai menghadapi covid-19, dan  Kondisi Indonesia yang tidak baik-baik saja. Anggaran 14 M dari APBD  Perubahan Sulteng apakah sebanding dengan hasil Munas. Semua itu perlu menjadi perhatian serius bagi peserta Munas, terutama yang di MN Kahmi
Sederet persoalan berbangsa dan bernegara perlu menjadi perhatian Munas kahmi ke-XI, diantaranta, melemahnya gerakan pemikiran untuk perubahan di Indonesia, bersamaan dengan menguatnya pragmentasi sosial dan politik pasca pilpres 2019, kondisi keummatan yang saat ini sedang diuji oleh faham radikalisme yang mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara, persoalan kesenjangan dan keterbelakangan serta rasa keadilan masyarakat akibat dominannya peran lembaga eksekutif ketimbag legislative dan melemahnya control (peran) masyarakat (civil society) perlu menjadi perhatian serius.
Munas Kahmi hendaknya tidak sekedar menjalankan pergantian kepemimpinan, akan tetapi sebagai tolak ukur kesinambungan perjuangan HMI dalam berkonstribusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik melalui etos kejuangan dan nilai-nilai independensi sebagaimana yang diletakkan oleh Prof. Dr. Lafran Pane, yang diharapkan menjadi spirit pembaruan gerakan politik dan pemikiran di Indonesia.
Tidak berlebihan, jika Munas Kahmi ke-XI  diharapkan mampu  menjawab tantangan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara yang demikian kompleks, di mana KAHMI berperan di tengah menguatnya pragmentasi sosial yang saling menegasikan sebagai akibat dari ketidakadilan sosial, ekonomi, politik, penegakkan hukum dan hak azazi manusia (HAM).
Mengusung Agenda Perubahan Pada Munas Kahmi Palu
Dalam beberapa dekade,  telah terjadi pergeseran  (disorientasi) peran Kahmi yang lebih mementingkan kader-kader HMI -- Politik,  dan HMI Garis Cendekiawan/Ilmuan yang. Kepentingan politik Kahmi lebih besar dai upaya memandirikan kelembagan Kahmi sebagai entitas modal sosial dan perubahan. Dalam perspektif ini, tampak adanya degradasi substansial atas kelembagaan Kahmi sehingga belum mampu mengejewantahkan sikap transparansi, partisipatif, akuntabel dan independen dalam mewujudkan KAHMI sebagai pelopor perubahan.
Disorientasi kelembagaan Kahmi disebabkan dominannya para politisi ketimbang cendekiawan, sekaligus menunjukan "keberpihakan" Kahmi dalam memproduksi kader HMI -- Politik, ketimbang HMI -- Cendekiawan. Dalam situasi tersebut, terjadi proses pemandulan pemikiran yang pada akhirnnya, Munas Kahmi kurang begitu diminati oleh para akadamisi dan ilmuan kader HMI.  Hal ini sangat dirasakan adanya gejala bahwa Kahmi seakan tidak resposif terhadap persoalan  kemandirian ekonomi umat, persoalan demokrasi, hukum dan HAM
Nampaknya, Munas Kahmi Palu melupakan agenda dan model tata kelola organisasi yang  transparan, partisipatif dan akuntabel, dan merumuskannnya dalam semangat independensi. Padahal, Kahmi mestinya mampu melepaskan diri dari pengaruh kepentingan politik praktis demi  mewujudkan kemandirian kelembagaan sebagai entitas pembaruan pemikiran menuju kualitas umat dan bangsa yang unggul.
Sebagai agen perubahan, Munas Kahmi  tidak sekedar "reuni dan temu kangen"  namun yang substansial yaitu menyusun  konsolidasi pemikiran dan potensi kader cendekia (Insan Cita).  Kita sadar bahwa Kader HMI memiliki kompetensi dalam berbagai aspek dan bidang, karena itu tidak berlebihan bahwa surplus kader unggulan yang dimiliki HMI semestinya dapat diintegrasikan untuk semangat perubahan.
HMI memiliki SDM unggul yang menduduki posisi sebagai guru besar yang tersebar di hampir semua perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. Jika para kader HMI yang secara politik praktis sedikit sulit untuk memproduksi pemikiran perubahan karena "terkooptasi" oleh berbagai kepentingan dan belenggu birokrasi pemerintahan dan politik,  maka berbeda halnya dengan para ilmuan-cendekiawan HMI yang mampu melihat persoalan dalam prespektif  yang lebih luas dan terbuka. Pada sisi ini, tantangannya bagaimana Kahmi  dapat mensinergikan para kader unggulan tersebut untuk memproduksi pemikiran praksis dalam menjawab persoalan kebangsaan.
Retrospeksi KAHMI
Pertanyaan penting: Mampukan Kahmi kembali ke khittah perjuangan, menghidupkan kembali ruh para pendiri HMI yang saat itu sangat responsif serta berani berhadapan dengan kekuatan kekuasaan? Â Mampukan Kahmi menegaskan Inklusivitas dan Independensi dengan mendorong aspek pemikiran, sikap dan perilaku alumni HMI yang inklusif, yang berpijak pada prinsip-prinsip keagamaan, kemanusiaan dan keadilan, sebagaimana yang dilakukan oleh Cak Nur (Nurcholish Masdjid).
Publik menanti hasil Munas ini, baik yang bersifat strategis maupun organisatoris. Hasil Munas Kahmi hendaknya tidak sekedar wacana yang utopia, mengingat Kahmi  adalah suatu entitas  intelektual dan cendekiawan yang memiliki cita-cita (visi) kebangsaan dan keindonesiaan, sebagaimana tradisi yang diwariskan oleh pendirinya, Prof. Lafran Pane. Karena itu, saatnya Munas Kahmi di Palu dijadikan media retrospeksi untuk membangun rumah besar Kahmi sebagai laboratorium pengembangan pemikiran, gagasan kebangsaan dan keindonesiaan dalam membawa bangsa ini ke ranah yang lebih demokratis, berkeadilan dan sejahtera. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H