Sejatinya ia adalah guru saya. Saya pertama kali mengenalnya ketika mengikuti kursus Bahasa Inggris di IEC di kawasan Peunayong, Banda Aceh. Kala itu, saya duduk di kelas dua SMEA Negeri Banda Aceh (kini SMK Negeri 1 Banda Aceh). Tabrani Yunis adalah pengajar sekaligus Kepala IEC Cabang Banda Aceh. Kala itu, jika bertemu di kota Banda Aceh, ia selalu bertanya kabar dalam bahasa Inggris, sebagai bagian dari "tugasnya" mendorong kami, murid-muridnya, untuk tak sungkan dan malu bertutur dalam bahasa itu.
Selain memimpin cabang kursus besar itu, Pak Tab atau Pak Top -- begitu sebagian rekan menyapanya -- Â Guru SMA Negeri 3 Banda Aceh. Ini adalah salah satu sekolah favorit di Banda Aceh, yang tiap pagi dan siang berderet mobil-mobil bagus parkir di jalan depan sekolah mengantar atau menjemput siswa-siswa yang bersekolah di sana. Di SMA itu, ia juga mengajar Bahasa Inggris. Ia memang sarjana Bahasa Inggris lulusan FKIP Universitas Syiah Kuala.
Tapi beberapa tahun kemudian, setelah saya berkuliah di STIEI Banda Aceh (Jurusan Manajemen Keuangan dan Perbankan) -- jika ada alumni STIEI yang baca ini tunjuk tangan ya -- saya bertemu Tabrani tidak lagi di tempat kursus, tapi di ruang-ruang seni dan kebudayaan. Entah di Taman Budaya Banda Aceh, atau tempat-tempat lain di mana acara-acara seni dan budaya digelar. Bahkan, IEC pernah menjadi tuan rumah sebuah diskusi seni kala itu.
Tabrani adalah seorang penulis produktif. Â Tulisan-tulisannya sering menghiasi halaman Opini koran-koran di Aceh, Medan, hingga koran Jakarta, seperti Kompas. Ia pun menulis puisi yang antara lain dimuat di Serambi Indonesia. Namun, ia bukan penulis puisi yang produktif, karena lebih menekuni penulisan esai soal-soal pendidikan. Maka itu, ia termasuk salah seorang pengamat pendidikan yang kritis di Aceh.
Di luar kegiatan menulis, Tabrani aktif di NGO dan memimpin CCDE (Center for Community Development and Education) yang fokusnya pada pendidikan. Lembaga itu mengadakan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Lewat CCDE, ia mengadakan berbagai pelatihan, termasuk pelatihan menulis. Sebagian terbesar peserta pelatihan itu adalah  perempuan, mulai dari remaja hingga ibu-ibu dari berbagai kampung di Aceh.
Sejumlah lainnya adalah siswa-siswa sekolah. Ia tidak hanya membuat pelatihan di Banda Aceh, tapi ikut berkeling ke desa-desa di Aceh untuk mengadaka pelatihan menulis. "Saya sedang di Trienggadeng nih," ujarnya suatu kali ketika melatih menulis siswa SD Inpres Trienggadeng. Trienggadeng, Kabupaten Pidie Jaya, adalah kampung saya. Â Dan SD yang dia datangi itu adalah sekolah saya.
Belakangan, ia tidak hanya mengadakan pelatihan, tapi menerbitkan majalah Potret dan Anak Cerdas. Di Potret, ia menyediakan ruang besar bagi perempuan-perempuan desa yang ia ajari menulis. Total sudah lebih seribu orang yang ia ajari menulis. Mayoritas, atau sekitar 70 persen di antaranya, adalah perempuan. Bagaimana itu semua bisa berjalan? Inilah yang menarik dari sosok yang rendah hati dan murah senyum ini.
Selain melatih penulisan, ia pun tetap rajin menulis esai di halaman-halaman opini di berbagai koran, mengelola Galeri Potret di Banda Aceh, hingga berkeliling ke desa-desa untuk membagi sepeda "titipan" para donatur dari berbagai belahan dunia untuk anak-anak tak mampu. Ia memang punya banyak teman di berbagai belahan dunia. Itu tak lepas dari keaktivannya mengikuti berbagai forum internasional.
Satu lagi, yang tak boleh lupa: ia baru saja menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul "Kutulis Namamu di Awan". Â Sebagian besar puisi berbicara tentang Aceh. Beberapa di antaranya ungkapan keperihan sekaligus keikhlasan atas kepergiaan anak dan isterinya dalam tragedi Tsunami pada 2004. Niatnya buku itu hendak diluncurkan di Jakarta dan Banda Aceh, namun badai Corona membuyarkan sementara. Tabrani pun, yang kerap mondar-mandir ke berbagai kota dan negara, sementara pun tak bisa ke mana-mana.
Lalu, bagaimana dengan aktivitas pelatihan menulis, membagikan sepeda ke anak-anak kurang mampu, hingga kesehariannya sebagai guru? Â Saya akan mengajak ngobrol lelaki kelahiran Manggeng, Aceh Selatan, 10 Oktober 1962, itu di akun Instagram saya secara live nanti sore, Rabu, 13 Mei 2020 Pukul 17.00-17.30. Siaran ulang dapat disimak di channel "BangMoes" di Youtube keesokan harinya, setelah story di IG hilang.
MI 130520
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H