Suatu kali, beberapa tahun lalu, saya ditelpon seseorang kawan. "Mas, ada waktu untuk menjadi narasumber diskusi tanggal sekian? Mas membahas buku penulis X," begitu kira-kira ucapannya di telepon.
Saya tidak langsung mengiyakan karena pada saat hampir bersamaan ada jadwal liburan bersama anak-anak ke rumah neneknya di Batang, Jawa Tengah. "Saya timbang dulu karena saya ada keperluan keluarga pada saat hampir bersamaan."
Beberapa hari kemudian, ia menelpon lagi menanyakan kesediaan. Setelah menimbang dengan seksama, akhirnya saya putuskan menerima ajakannya. Lalu ia mengirimkan buku (cerpen) untuk kubaca sebagai bahan untuk diskusi nanti. Agenda pulang ke rumah nenek anak-anak tetap berjalan, cuma harus dipersingkat karena saya menjadi pembahas bedah buku tadi.
Sebagian bahan saya cicil di perjalanan sambil menyetir di jalanan Pantura Jawa Barat-Jawa Tengah. Bagaimana caranya? Saya minta tolong isteri membacakan buku itu secara keras dan saya mendengarnya. Sebagian lagi saya baca di ruman nenek anak-anak di Batang, Jawa Tengah. Namun bagian terakhir dari buku itu saya selesaikan dalam perjalanan pulang ke Jakarta, ya seperti saya sebut tadi, buku dibacakan keras oleh isteri dan saya mendengarnya dengan seksama.
Pada hari dimaksud, saya pun hadir di tempat peluncuran dan diskusi buku itu di sebuah tempat penting kesenian di Jakarta. Ada banyak teman yang saya kenal, beberapa di antaranya menjadi narasumber bersama saya, salah seorang di antaranya sastrawan senior. Diskusi berjalan hangat. Singkat cerita, seusai diskusi -- seperti biasa -- saya terlibat obrolan dengan sejumlah kawan. Sebagian besar peserta pelan-pelan menyusut pulang. Sampai kemudian tinggallah kami, yang menjadi narasumber.
Saya sendiri merasa sesuatu yang janggal. Biasanya, setelah diskusi, panitia mendekati narasumber lalu mengeluarkan amplop bersama kwitansi untuk ditandatangani. Tapi kali ini tidak. Panitia, yang mengontak saya, seperti sibuk sendiri. Hanya sempat mengucapkan terima kasih. Saya pun akhirnya bersama beberapa teman lain bergerak ke luar tempat acara --- dengan tangan hampa tentu saja.
Tiba-tiba saya ingat tadi sebelum berangkat saya mampir ke pom bensin mengisi bensin, membayar tol, hingga membayar parkir di lokasi acara. Ah betapa hari itu saya diberi kesempatan untuk "berbuat baik" alias beramal dengan cara terpaksa. Bukan hanya mengeluarkan biaya untuk tiba di tempat tujuan, tapi saya harus mempersingkatkan waktu liburan anak-anak ke rumah neneknya.
Itu bukan pertama dan terakhir saya "berbuat baik" dengan cara terpaksa. Sebelumnya, mahasiswa sebuah kampus ternama juga mengundang saya menjadi narasumber sebuah seminar budaya, lagi-lagi hanya pulang dengan membawa plakat dan bingkisan. Saya isi bensin sendiri, bayar parkir sendiri plus bolos beberapa jam dari kantor.
Ada lagi kisah, pada waktu yang lain, sebuah seminar -- yang pesertanya mayoritas mahasiswa -- saya juga pulang tanpa diberi transport sekedar untuk beli bensin. Jadi saya harus beli bensin sendiri, bayar parkir sendiri plus minta izin dari kantor -- karena acaranya siang sampai sore.
Saya yakin banyak orang pernah mengalami hal serupa: menjadi narasumber tapi tak dibayar. Saya dengar kisah seorang budayawan senior diundang menjadi pembicara seminar di sebuah kampus di Jawa Timur, lalu jangankan honor, tiket pesawat pun tak diganti.
Itu untuk narasumber seminar. Kalau diminta baca puisi dan tak ada transportnya bukan main banyaknya. Banyak acara baca puisi sifatnya ada gretongan. Lalu mengapa saya mau? Kadang ada perasaan tidak enak sama teman yang mengundang. Celakanya, ada teman yang sering mengundang kita baca puisi secara gratisan namun dia tidak pernah hadir ketika kita undang dalam acara kita.