Saya berusaha menenangkan. "Tetaplah sabar dulu, kita cari terus. Semoga semua baik-baik saja," kata saya lewat WA dan telepon kepada Dek Wi. Sejumlah informasi yang ditemukan, termasuk di media sosial (ada yang pernah melihat dan sebagainya) kami verifikasi kebenarannya. Namun tak satu pun membuka tabir ini.
Malamnya, seketika sampai di rumah di kawasan Bojongsari, Depok, Dek Wi menelpon mengabarkan ada temuan mayat di Ladong, Aceh Besar. Ia lalu meng-capture info di media sosial itu yang mengutip sebuah berita online. Saya bilang ke Dek Wi, "Saya tidak yakin. Kok sempai ke sana."
Saya lalu mengecek di google dan menemukan berita di sejumlah online. Dari saya saya baca ada beberapa hal yang kurang meyakinkan saya bahwa itu adik saya. Misalnya usia disebut sekitar 25 tahun, kulit putih, rambut sebahu. Rambutnya, setahu saya, bukan sebahu. Adik saya adalah anak pesantren (Mutia lama di pesantren di Samalanga).
Meski begitu, saya coba mengontak RS Zainul Abidin, Banda Aceh, untuk mengecek informasi tentang "mayat perempuan di Ladong" (ini kemudian jadi kata kunci untuk mencari di google). Tapi malam itu tidak tersambung.
Esoknya, Selasa menjelang siang, seorang kerabat di Banda Aceh Sayed Muhammad Husen menelpon bahwa hampir pasti yang ditemukan itu Mutia. Ia bersama sejumlah kerabat lain sudah di Rumah Sakit Zainal Abidin. Tapi saya tetap belum yakin. "Kita tunggu dulu keluarga dari kampung tiba untuk melihat," kata saya.
Namun sebelum keluarga dari kampung dari Banda Aceh tiba, tanda-tanda fisik yang disampaikan keluarga di Banda Aceh sudah hampir pasti Mutia. Mulai dari wajah sampai ada luka di kakinya yang perbannya masih menempel. Allahu Akbar
Ada yang wartawan yang kemudian menulis bahwa "perempuan yang ditemukan di Ladong adik seorang wartawan sebuah media nasional di Jakarta yang disertai nama saya di sana. Ia pastilah mendapatkan info itu dari keluarga rumah sakit. Ada juga wartawan yang langsung menghubungi saya.
Di rumah sakit, banyak tokoh yang hadir, termasuk tokoh-tokoh dari Pidie Jaya, kerabat, sahabat, kenalan, dan wartawan. Untuk ini, terima kasih atas bantuan, doa-doa terbaik dan simpati yang tulus. Setelah proses di rumah sakit, termasuk visum, akhirnya jenazah dibawa ke kampung pada sore itu dan dimakamkan malamnya. "Poh siploh malam ka seuleusoi mandum (pukul 10 malam sudah selesai semuanya)," kata seorang Teungku (ustad) yang juga teman kecil saya di kampung dulu.
Hari ini adalah hari ke-5. Tradisi di kami tahlilan tujuh hari tujuh malam. Dan pagi ini, sambil duduk-duduk di raket depan rumah Abuwa (paman) bersama miwa (isteri Abuwa) dan menikmati sarapan nasi gurih (nasi uduk Aceh) masakannya, cerita lagi-lagi pada kejanggalan meninggalnya Mutia. Tak lama muncul Po A dan ikut bergabung.
Mereka tak yakin Mutia meninggal secara wajar. Banyak hal aneh bin janggal -- seperti saya sebutkan di atas. Dan tak lama, Dek Wi datang dengan sepeda motornya. Saya pun menanyakan ke dia, salah satunya, "benarkah rambut Mutia seperti dicukur sebelah."
"Kalau kita lihat benar bang. Tapi nanti kita tunggu polisi yang katanya akan turun ke Trienggadeng. Polisi nanti bisa bercerita lebih lengkap." Tak lama, beberapa menit kemudian, saya menerima forward informasi lewat WA yang disebut sebagai hasil visum jenazah Mutia yang menyebutkan tubuhnya mengalami bekas terkena benda tajam dan benda tumpul. Saya sendiri tidak melihat langsung visum itu.