Ini puisi-puisi lama saya tentang Lebaran.
LEBARAN 1
—- elegi kampung halaman
takbir itu meningatkanku pada lilin-lilin aneka warna
di sepanjang pagar halaman rumah
berbaris seperti membentangkan sejarah panjang
lalu iring-iringan orang lewat, sebuah karnaval,
mengkumandangkan bait-bait kemenangan
ibu bersiap di dalam: tepung beras, daun pisang muda,
juga kukusan. Di dapur, tungku menyala
besok lebaran, besok lebaran. Adik selalu girang
memandang timphan-timphan yang sudah matang
tadi siang, kami sudah pula menikmati daging makmeugang
malam bergulir seperti perlahan, banyak orang
menanti-nanti dan mata seperti tak hendak terpejam
sudah ada sejumlah rencana: batee iliek, krueng kumala,
atau ke sigli: mencatat keramaian demi keramaian
sekali setahun, setelah itu kembali ke arloji nan sibuk
tak ada yang bernama kerikil, apalagi tetesan darah
yang membuat kami cemas pergi jauh dan ingin cepat-cepat
pulang. Tak ada suara letusan, tak ada orang menangis
karena sang ayah tak pulang, juga tak ada kematian tanpa kubur
Tuhan selalu datang hati-hati: Maha Besar
tapi takbir kini membikinku makin jauh
dari lilin-lilin aneka warna di pagar halaman. Juga dari rumah
yang ditinggal pergi, setelah langit menjadi gelap dan
orang-orang menangisi nasib
menanti hujan yang pernah lagi turun
Depok, malam lebaran, 13 Nopember 2004
LEBARAN 2
—– ficer kota besar
angin dan hawa hujan seperti tak henti memukul-mukul
tubuh bayi itu. Di malam yang makin beringsut, ia menemukan
dunianya: mimpi tentang daun-daun dan tempat bermain
entah sudah malam keberapa ia bermimpi tentang daun-daun
dan tempat bermain, sejak ayah-ibunya ramai-ramai pindah
ke tepi jalan itu, yang padat dan berderang
ada yang selalu mereka tunggu: Tuhan datang membawa parcel,
sepatu dan baju baru. Tapi mobil-mobil yang lewat, juga rumah-rumah
yang berdiri tegak di sekelilingnya, seperti matahari tak bersinar
mereka adalah batu-batu yang berlalu ditelan malam
Depok, malam lebaran, 13 Nopember 2004
LEBARAN 3
—– nyanyian seorang perantau
aku mencari-cari kampungku yang tenggelam
setelah laut pasang dan mengirim orang-orang
ke negeri asing: sebuah gua di balik bukit dengan fosil-fosil
orang mati dan daun-daun berguguran
aku mencari-cari rumah yang menyimpan masa kecil
sekedar untuk rebahan, setelah lama tak pulang,
sambil membetulkan atap yang bocor, cat mengelupas
juga mencabut rumput-rumput di halaman
aku mencari-cari perempuan yang dulu kerap datang
dalam sekian banyak mimpi, untuk sekedar berbagi
sambil mengutip rencana-rencana yang tak sampai
dan menghapus noktaf-noktaf kecil di keningnya
aku mencari-cari laut setenang kolam
mengirim hawa biru ke dalam tubuhku yang kelelahan
laut yang selalu bikin aku ingin pulang
untuk berenang sambil bermain kecipak air seharian
aku mencarimu: tetap saja lelaki-lelaki asing itu
yang kutemukan. Seperti sebuah karnaval,
mereka merayakan kematian demi kematian
aku pun menunda pulang
Depok, malam lebaran, 13 Nopember 2004
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H