Mohon tunggu...
Monica Niken Wulandari
Monica Niken Wulandari Mohon Tunggu... Seniman - PNS Polri, Musisi, Pengajar, Suka Traveling, Ibu dari Do dan Re, Suka sesuatu yang baru

Menulis bebas apa yang ada di pikiran saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Sapen dan Clurit Mbah Sardi

4 Juni 2021   00:20 Diperbarui: 4 Juni 2021   00:45 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya lahir di suatu Desa di kaki gunung Prau. Desa Sukorejo namanya. Desa yang tenang, indah, penduduknya ramah dan sampai sekarangpun masih terasa jiwa gotong royongnya. Saya tinggal di dusun Sapen. Dulu, desa kami terkenal dengan ternak ayam dan kopi. Bahkan pada saat TK, Presiden RI Soeharto pernah datang ke Desa kami karena ternaknya yang maju. Saya menari kolosal bersama dengan teman-teman TK lain. Judul tariannya Tari Kuthuk (anak ayam). Saya berperan sebagai anak ayam yang divaksin dengan pakaian serba kuning muda, megal-megol gak karuan. Itulah Desa kami yang sampai sekarang masih tenang dan damai, di saat kami ke gereja, sudah ada pasukan Banser dan remaja lainnya berjaga di depan gereja bersama Polri dan TNI. 

Saya terlahir pada jaman yang belum milenial. Saya kecil tidak mengenal HP. Hp baru saya punya saat kuliah. Sebagai anak ke-5 dan semua kakak saya cowok, saya cenderung meniru kakak saya dalam hal apapun. Mulai dari ikut beladiri yang diwajibkan olah Bapak saya, main catur, main kartu bridge,  mainan perang-perangan dengan senjata tanah yang dikepal-kepalkan untuk menyerang lawan, berburu burung, mencari ikan, membuat gua di tebing, naik gunung, menjelajah hutan belantara tanpa bekal yang memadai, memanjat pohon, bermain gobak sodor setiap bulan purnama, bola kasti, mobil-mobilan pakai kulit jeruk, bermain laker subuh-subuh di bulan puasa, petasan dan sederet permainan lain. O iya, lupa satu hal lagi,  mencuri tebu (tolong jangan ditiru, adegan ini sangat berbahaya) 

Dari sederet permainan atau aktivitas saya yang sangat padat itu, sebagian besar kami lakukan di sawah. Tentu bukan sawah Bapak saya. Sawah milik orang kaya yang jelas, dan dikelola dengan sangat baik oleh almarhum  Mbah Sardi. Anak dusun Sapen belum sah menjadi anak Sapen kalau belum dikejar-kejar Mbah Sardi menggunakan cluritnya. Horor memang, tapi entah kenapa, semakin saya dikejar, semakin timbul ide kreatif saya untuk lolos dari kejaran Mbah Sardi sang Legenda. Ketika kami mencari ikan dan lewat "galengan" sawah yang digarapnya, murkalah beliau. Mungkin kalau diibaratkan film di salah satu TV swasta, gambaran Mbah Sardi ketika melihat anak-anak yang menginjak-injak sawah yang dicangkulnya (padahal kami tidak merusaknya atau merusak padinya) langsung mukanya merah membara menyala, berasap dan keluar tanduknya, dengan gagah berani dan teriakannya yang khas, dia beraksi dengan "pecut" nya dan tentu clurit yang diacungkan kepada kami. Tentu ini membuat adrenalin saya naik tajam melesat ke nilai 99 dari skala 1-100. Saya lari terbirit-birit mengalahkan pelari sprint tingkat dunia (dunia khayal). Karena hampir setiap bertemu dengan beliau kami dikejar dan masih dengan protapnya clurit dan pecut, maka  saya dan geng Sapen selalu lolos. Bahkan sebelum kami bersama-sama menyusun strategi bila mbah Sardi muncul tanpa diduga, otomatis kami berpencar ke segala arah untuk memecah konsentrasi beliau. Saya sendiri tidak terbayang bisa-bisanya kami dulu berpikir seperti itu untuk mengelabuhi Mbah Sardi. Semoga beliau tenang di sisi Allah. 

Mbah Sardi dan cluritnya serta pecut yang diselipkan ke celana belakangnya sangat fenomenal. Tokoh yang ditakuti anak-anak dusun Sapen, tetapi kami selalu tertawa penuh kemenangan saat bisa pulang membawa ikan dan lolos dari kejaran Mbah Sardi. Bagi saya ini merupakan prestasi tersendiri, bangganya melebihi juara kelas. Selain mencari ikan, kegiatan seru yang kami lakukan adalah mencuri tebu. Dibilang mencuri ya bukan juga ya. Setengah mencuri, kira-kira begitu. Atau lebih halusnya, kami berbuat curang. Biasanya kami bersama geng mendatangi perkebunan tebu, kami berjalan sampai kami bertemu mandor, dan kami minta tebunya ke Pak Mandor tersebut,

" Lik, njaluk tebune yo? Ngelak ki" (Om, minta tebunya ya? Haus nih) ketika dia menjawab: ya situ ambil, jangan banyak-banyak, berarti sah bagi kami untuk mengambil tebu, karena kami tidak tahu definisi "jangan banyak-banyak" itu berapa. Tidak ada perintah jelas kepada kami tentang angkanya. Mulailah saya ambil tebunya, tentunya tidak mungkin satu, biasanya lebih dari sepuluh dan geng kami sudah menunggu di semak-semak untuk menunggu estafet tebu.

Teman kami lainnya stand by di pinggil kali. Satu lagi menjaga di ujung kali untuk menerima tebu yang kami hanyutkan. Mungkin ini adalah salah satu implementasi dari bentuk "Kerjasama Tim" tanpa kami sadari. Setelah dirasa cukup untuk persediaan kami beberapa hari, saya pamit kepada Mandor sambil membawa satu tebu yang sudah sebagian saya kupas dan saya makan. "Matur nuwun yo Lik" (terima kasih ya Om) "Yo Nok, ati-ati baline, akeh ula" (hati-hati pulangnya, banyak ular). Bisa dibayangkan senyum penuh kemenangan kami.  

Tiba saat pulang dengan geng Sapen dan lagi-lagi bertemu Mbah Sardi. "Whooii... nyolong tebu ngendi kowe???" (Whoi, nyuri tebu dimana kamu?) Tetap dengan cluritnya yang diacungkan kepada kami dan pecut di tangan satunya. Cetheer.... cetherr... suara pecut. Dan... kami... sudah pastilah lari tunggang langgang dengan kekuatan penuh bagai menggunakan awan clinton Dragon Ball. Latihan fisik ini ternyata yang membuat kami kuat hingga tua. Sekali lagi, adegan ini BERBAHAYA dan tidak untuk ditiru. Untuk anak saya, Do dan Re, jika suatu saat kalian membaca ini, maafkan Ibumu yang jaman kecil belum kenal gadget dan tidak ada Mall Nak. Hanya ini yang kami bisa lakukan dan maaf membawa kalian ikut naik gunung untuk mengenalkan hobby Ibumu yang ekstrim ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun