Mohon tunggu...
Mushollih Abdul Gofar
Mushollih Abdul Gofar Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo, program studi Syariah Islamiah, Pusat Kajian Ekonomi Islam (PAKEIS) Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) organisasi wilayah Kairo. Mahasiswa program magister ilmu Al-Qur’an dan tafsir di universitas Perguruan Tinggi Ilmu AlQur’an (PTIQ) yang tergabung dalam program pendidikan kaderisasi ulama masjid istiqlal (PKUMI)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Menganggap Allah Lalai atas Rezekimu

13 Agustus 2024   17:00 Diperbarui: 13 Agustus 2024   17:29 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jangan Menganggap Allah Lalai atas Rezekimu"

Dalam kehidupan yang penuh dengan dinamika dan tantangan, kita seringkali dihadapkan pada berbagai situasi yang menguji keyakinan dan keteguhan iman kita. Di tengah hiruk pikuk dunia modern, dengan segala tuntutan dan godaannya, tak jarang kita merasa terombang-ambing dalam lautan keraguan dan kecemasan. Namun, ada sebuah ungkapan bijak dalam bahasa Arab yang dapat menjadi pegangan dan pengingat bagi kita semua:

"لا تحسبن الله غافلا على رزقك، ولكن غفلت على واجباتك إليه فغفلت به"

Yang artinya kurang lebih:
"Janganlah engkau mengira Allah lalai atas rezekimu, tetapi engkaulah yang lalai atas kewajibanmu kepada-Nya sehingga engkau pun terlalaikan."

Ungkapan ini mengandung makna yang sangat dalam dan multidimensi. Mari kita telusuri bersama-sama, lapisan demi lapisan, untuk memahami esensi dan relevansinya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Pertama-tama, kalimat ini mengingatkan kita akan sifat Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Memelihara. Dalam hiruk pikuk kehidupan, kita terkadang merasa seolah-olah Allah telah melupakan kita, terutama ketika kita menghadapi kesulitan atau kekurangan. Namun, ungkapan ini dengan tegas menyanggah anggapan tersebut. Allah tidak pernah lalai atau lupa. Dia senantiasa memperhatikan dan mengatur rezeki bagi setiap makhluk-Nya, dari yang terkecil hingga yang terbesar.

Konsep rezeki dalam Islam sendiri sangatlah luas. Ia tidak hanya terbatas pada materi atau harta benda, tetapi mencakup segala sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kesehatan, ilmu pengetahuan, ketenangan hati, keluarga yang harmonis, persahabatan yang tulus, bahkan udara yang kita hirup setiap detik -- semua itu adalah bentuk rezeki dari Allah. Maka, ketika kita merasa kekurangan dalam satu aspek, mungkin kita sedang dilebihkan dalam aspek lainnya.

Lebih jauh lagi, ungkapan ini mengajak kita untuk melakukan introspeksi diri. Alih-alih menuduh Allah lalai, kita justru diingatkan akan kelalaian kita sendiri terhadap kewajiban-kewajiban kita kepada-Nya. Ini adalah sebuah ajakan untuk melihat ke dalam diri, mengakui kelemahan dan kekurangan kita, serta berusaha untuk memperbaiki diri.

Kewajiban seorang hamba kepada Allah bukanlah beban, melainkan jalan menuju kebahagiaan hakiki. Ibadah, dalam pengertiannya yang luas, tidak hanya terbatas pada ritual-ritual tertentu, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan. Setiap tindakan yang dilakukan dengan niat yang tulus untuk mencari ridha Allah adalah ibadah. Bekerja dengan jujur, menuntut ilmu dengan tekun, berbuat baik kepada sesama, bahkan tersenyum kepada orang lain -- semua itu adalah bentuk ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar.

Namun, dalam kesibukan hidup sehari-hari, kita seringkali terjebak dalam rutinitas yang membuat kita lupa akan esensi dari kewajiban-kewajiban tersebut. Kita mungkin masih melakukan shalat lima waktu, tetapi hati kita tidak hadir. Kita mungkin masih berpuasa di bulan Ramadhan, tetapi tidak merasakan makna spiritualnya. Kita mungkin masih berzakat, tetapi tidak disertai dengan rasa syukur yang mendalam. Inilah bentuk kelalaian yang dimaksud dalam ungkapan tersebut.

Kelalaian ini bisa jadi berakar dari berbagai hal. Mungkin kita terlalu sibuk mengejar target duniawi sehingga melupakan tujuan akhirat. Mungkin kita terlalu fokus pada kekurangan yang kita miliki sehingga lupa mensyukuri nikmat yang telah diberikan. Atau mungkin kita terlalu cepat putus asa ketika menghadapi cobaan, sehingga lupa bahwa di balik setiap kesulitan ada hikmah yang tersembunyi.

Ungkapan ini juga mengandung pesan tentang hubungan sebab-akibat antara kelalaian kita terhadap kewajiban dan kelalaian kita terhadap Allah. Ketika kita lalai dalam menjalankan kewajiban, secara tidak langsung kita juga telah melalaikan Allah. Ini karena kewajiban-kewajiban tersebut adalah bentuk komunikasi dan koneksi kita dengan-Nya. Shalat, misalnya, bukanlah sekadar ritual fisik, tetapi merupakan momen intim antara hamba dan Tuhannya. Ketika kita lalai dalam shalat, kita sebenarnya telah melewatkan kesempatan untuk berkomunikasi langsung dengan Sang Pencipta.

Lebih dari itu, kelalaian terhadap kewajiban juga dapat membuat kita semakin jauh dari kesadaran akan kehadiran Allah dalam hidup kita. Ketika kita terlalu fokus pada urusan duniawi dan melupakan kewajiban spiritual, perlahan-lahan kita akan kehilangan sensitivitas terhadap tanda-tanda kebesaran Allah di sekitar kita. Padahal, alam semesta ini penuh dengan ayat-ayat kauniyah yang menunjukkan keagungan-Nya.

Namun, pesan dari ungkapan ini bukanlah untuk membuat kita merasa bersalah atau putus asa. Sebaliknya, ini adalah sebuah ajakan untuk bangun dari kelalaian, untuk kembali menyadari kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan kita. Ini adalah sebuah motivasi untuk memperbaiki kualitas ibadah kita, untuk menjalankan kewajiban dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.

Lantas, bagaimana kita bisa mengatasi kelalaian ini? Bagaimana kita bisa kembali menyadari kehadiran Allah dan menjalankan kewajiban kita dengan sebaik-baiknya?

Pertama, kita perlu melatih diri untuk selalu bersyukur. Syukur adalah kunci untuk membuka pintu-pintu rezeki dan keberkahan. Ketika kita terbiasa bersyukur, bahkan atas hal-hal kecil, kita akan semakin menyadari betapa banyaknya nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita. Ini akan membantu kita untuk tidak terjebak dalam perasaan kekurangan atau kelalaian.

Kedua, kita perlu meningkatkan kualitas ibadah kita. Ini bukan berarti kita harus menambah kuantitas ibadah secara drastis, tetapi lebih pada peningkatan kualitas dan kekhusyukan dalam beribadah. Misalnya, daripada terburu-buru dalam shalat, cobalah untuk meresapi setiap gerakan dan bacaan. Renungkan makna dari setiap ayat Al-Quran yang kita baca. Rasakan kehadiran Allah dalam setiap nafas yang kita hirup.

Ketiga, kita perlu melatih diri untuk selalu mengingat Allah (dzikrullah) dalam setiap aktivitas kita. Dzikir tidak hanya terbatas pada pengucapan kalimat-kalimat tertentu, tetapi juga mencakup kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap momen hidup kita. Ketika kita terbiasa mengingat Allah, kita akan lebih mudah untuk menjalankan kewajiban kita dengan ikhlas dan penuh kesadaran.

Keempat, kita perlu meluangkan waktu untuk muhasabah atau introspeksi diri secara rutin. Evaluasi diri ini penting untuk mengetahui di mana letak kelalaian kita dan bagaimana cara memperbaikinya. Dengan muhasabah, kita juga dapat mengukur perkembangan spiritual kita dari waktu ke waktu.

Kelima, kita perlu meningkatkan ilmu dan pemahaman kita tentang agama. Semakin dalam pemahaman kita, semakin kita akan menyadari betapa indah dan sempurnanya ajaran Islam. Ini akan memotivasi kita untuk menjalankan kewajiban bukan karena takut atau terpaksa, tetapi karena cinta dan kerinduan kepada Allah.

Keenam, kita perlu menjaga pergaulan dan lingkungan kita. Bergaullah dengan orang-orang yang saleh dan berilmu, yang dapat mengingatkan kita akan Allah dan akhirat. Lingkungan yang positif akan sangat membantu kita untuk tetap istiqamah dalam menjalankan kewajiban kita.

Ketujuh, kita perlu melatih diri untuk selalu berprasangka baik (husnudzan) kepada Allah. Yakinlah bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita, baik itu kesenangan maupun kesulitan, adalah yang terbaik untuk kita. Dengan husnudzan, kita akan lebih mudah untuk menerima takdir Allah dan tidak terjebak dalam keluhan atau kekecewaan yang berlebihan.

Delapan, kita perlu melatih diri untuk selalu berbuat baik kepada sesama. Berbuat baik tidak hanya akan membawa kebaikan bagi orang lain, tetapi juga akan membawa ketenangan dan kebahagiaan bagi diri kita sendiri. Lebih dari itu, berbuat baik adalah salah satu bentuk syukur atas nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.

Kesembilan, kita perlu belajar untuk melepaskan diri dari ketergantungan berlebihan terhadap dunia. Ini tidak berarti kita harus meninggalkan urusan dunia sama sekali, tetapi lebih pada menempatkan dunia pada porsi yang seharusnya. Ingatlah bahwa dunia hanyalah sarana, bukan tujuan. Tujuan utama kita adalah mencari ridha Allah dan kebahagiaan di akhirat.

Kesepuluh, kita perlu selalu memohon petunjuk dan pertolongan Allah. Sadari bahwa tanpa pertolongan-Nya, kita tidak akan mampu menjalankan kewajiban kita dengan baik. Oleh karena itu, perbanyaklah doa dan istighfar. Mintalah kepada Allah agar selalu diberikan kekuatan dan keteguhan dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Dengan menerapkan langkah-langkah di atas, insya Allah kita akan dapat mengatasi kelalaian kita dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Kita akan semakin menyadari bahwa Allah tidak pernah lalai atas rezeki kita, dan bahwa setiap kejadian dalam hidup kita adalah bagian dari rencana-Nya yang sempurna.

Dalam konteks yang lebih luas, ungkapan ini juga mengajarkan kita tentang keseimbangan antara ikhtiar (usaha) dan tawakkal (berserah diri kepada Allah). Kita diperintahkan untuk berusaha semaksimal mungkin dalam mencari rezeki dan menjalani kehidupan, namun pada saat yang sama kita juga harus menyerahkan hasilnya kepada Allah. Inilah esensi dari tawakkal yang sebenarnya.

Lebih jauh lagi, ungkapan ini mengajak kita untuk merefleksikan kembali makna kesuksesan dalam hidup. Seringkali, kita terjebak dalam definisi kesuksesan yang sempit, yang hanya diukur dari pencapaian materi atau status sosial. Padahal, dalam perspektif Islam, kesuksesan yang hakiki adalah ketika seorang hamba berhasil menjalankan kewajibannya kepada Allah dengan sebaik-baiknya dan mencapai ridha-Nya.

Pada akhirnya, ungkapan ini mengingatkan kita akan tujuan utama penciptaan manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Ibadah, dalam pengertiannya yang luas, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Setiap tindakan, setiap nafas, bahkan setiap detak jantung kita bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk mencari ridha Allah. Inilah yang seharusnya menjadi fokus utama kita dalam menjalani kehidupan.

Dengan memahami dan menghayati makna dari ungkapan ini, kita diharapkan dapat menjalani hidup dengan lebih bijaksana dan seimbang. Kita akan lebih mampu untuk mensyukuri setiap nikmat yang Allah berikan, sekecil apapun itu. Kita akan lebih tekun dalam menjalankan kewajiban kita sebagai hamba Allah. Dan yang terpenting, kita akan selalu menyadari kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan kita.

Semoga renungan ini dapat menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu memperbaiki diri, meningkatkan kualitas ibadah, dan mendekatkan diri kepada Allah. Karena sesungguhnya, Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan Dia tidak pernah lalai terhadap hamba-hamba-Nya yang senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun