Mohon tunggu...
Mushollih Abdul Gofar
Mushollih Abdul Gofar Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo, program studi Syariah Islamiah, dan alumnus Pusat Kajian Ekonomi Islam (PAKEIS) Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) organisasi wilayah Kairo. Mahasiswa program magister ilmu Al-Qur’an dan tafsir di universitas Perguruan Tinggi Ilmu AlQur’an (PTIQ) yang tergabung dalam program pendidikan kaderisasi ulama masjid istiqlal (PKUMI)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Akidah Maturidiyah, Pembela Ahlu Sunnah wal Jamaah dan Pemikiran Moderatnya

19 Juli 2024   15:30 Diperbarui: 15 Agustus 2024   09:02 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://majalahnabawi.com/wp-content/uploads/2024/02/Ulama-klasik.jpg

Akidah Maturidiah: Pembela Ahlu Sunnah wal Jamaah dan Pemikiran Moderatnya

Oleh: Muhamad Mushollih Abdul Gofar

Dalam panorama pemikiran Islam, aliran teologi Maturidiah berdiri tegak sebagai salah satu pilar utama Ahlu Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Dirintis oleh Abu Mansur al-Maturidi yang hidup antara tahun 853 hingga 944 Masehi, mazhab ini lahir sebagai respon terhadap pergolakan intelektual pada masanya. Al-Maturidi, dengan kecerdasannya yang tajam, berusaha menjembatani jurang pemikiran antara kaum rasionalis dan tradisionalis, menciptakan sintesis yang kemudian dikenal sebagai jalan tengah dalam teologi Islam.

Latar belakang historis kelahiran Maturidiah tidak bisa dilepaskan dari konteks zamannya. Pada masa itu, Dinasti Abbasiyah sedang berada di puncak kejayaan, dan diskursus intelektual berkembang pesat. Aliran Mu'tazilah, yang dikenal dengan rasionalisme ekstremnya, mendapat angin segar dari penguasa. Sementara itu, kaum tradisionalis yang diwakili Ahlu Hadits mengalami tekanan. Di tengah polarisasi ini, al-Maturidi, yang dibesarkan dalam tradisi fiqh Hanafi yang lebih terbuka terhadap penggunaan akal, melihat kebutuhan akan sebuah pendekatan yang lebih moderat [1].

Al-Maturidi tidak hanya berhadapan dengan Mu'tazilah, tetapi juga dengan berbagai aliran pemikiran lainnya. Ada Jabariyah yang meyakini predestinasi mutlak, Qadariyah yang menekankan kebebasan mutlak manusia, serta berbagai sekte lainnya. Menghadapi berbagai arus pemikiran ini, al-Maturidi dengan cermat merajut sebuah sistem teologi yang berusaha mengambil jalan tengah, menghindari ekstremitas sambil tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar Islam [2].

Salah satu prinsip fundamental akidah Maturidiah adalah keseimbangan antara akal dan wahyu. Al-Maturidi meyakini bahwa kedua sumber pengetahuan ini tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi. Wahyu, dalam pandangan Maturidiah, tetap menjadi sumber utama pengetahuan tentang Tuhan dan alam gaib. Namun, akal memiliki peran penting dalam memahami dan menafsirkan wahyu. Al-Maturidi berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui keberadaan Tuhan dan prinsip-prinsip moral dasar, tetapi detail-detail hukum dan ibadah hanya bisa diketahui melalui wahyu [3].

Dalam membahas sifat-sifat Allah, Maturidiah mengambil posisi yang moderat. Mereka menegaskan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang kekal dan berbeda dari sifat-sifat makhluk. Namun, mereka menolak antropomorfisme atau penyerupaan Allah dengan makhluk. Pendekatan mereka dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang maknanya tidak jelas) lebih fleksibel [4].

Salah satu kontribusi penting Maturidiah adalah pandangan mereka tentang kebebasan kehendak manusia. Mereka mengambil posisi tengah antara determinisme Jabariyah dan kebebasan mutlak Qadariyah. Menurut Maturidiah, manusia memiliki kehendak bebas dalam perbuatannya, namun kehendak ini tetap dalam bingkai qada dan qadar Allah. Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan bertanggung jawab atas perbuatannya, namun Allah tetap memiliki pengetahuan dan kekuasaan atas segala sesuatu. Pandangan ini menjadi salah satu ciri khas Maturidiah yang membedakannya dari aliran lain [5].

Dalam mendefinisikan iman, Maturidiah melihatnya sebagai pembenaran dalam hati (tasdiq bil qalb) dan pengakuan dengan lisan (iqrar bil lisan). Mereka berpendapat bahwa amal, meskipun sangat penting, bukan merupakan bagian dari esensi iman. Amal dilihat sebagai buah atau konsekuensi dari iman. Pandangan ini memiliki implikasi penting dalam hal hubungan antara iman dan perbuatan. Menurut Maturidiah, seseorang tidak menjadi kafir hanya karena melakukan dosa besar, selama ia masih memiliki iman dalam hatinya [6].

Metodologi yang digunakan Maturidiah dalam membangun pemikirannya mencerminkan pendekatan yang moderat dan komprehensif. Mereka menggunakan baik dalil naqli (teks Al-Qur'an dan Hadits) maupun dalil aqli (argumentasi rasional) dalam membangun argumen teologis mereka. Maturidiah berusaha untuk selalu menyelaraskan antara teks dan akal, dengan prinsip bahwa kebenaran wahyu tidak mungkin bertentangan dengan akal sehat [7].

Dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, Maturidiah menggunakan metode takwil (interpretasi) yang moderat. Mereka tidak menolak takwil secara mutlak seperti sebagian Ahlu Hadits, namun juga tidak berlebihan dalam takwil seperti Mu'tazilah. Takwil dilakukan dengan tetap memperhatikan konteks dan kaidah-kaidah bahasa Arab. Pendekatan ini memungkinkan mereka untuk memberikan interpretasi yang lebih fleksibel terhadap teks-teks agama tanpa kehilangan pegangan pada prinsip-prinsip dasar [8].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun