Mohon tunggu...
Om Lihin
Om Lihin Mohon Tunggu... Administrasi - Guru yang suka menulis

Sementara hanya bisa merangkai huruf, dan masih takut mati.... Malas menulis di kompasiana, sukanya baca baca saja. Tanya kenapa???

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Alhamdulillah Acara "Hadits-hadits Palsu" di RCTI tidak Tayang

17 Juli 2013   02:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:26 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari menjelang bulan suci Ramadhan, beberapa cuplikan siaran televisi mulai marak. Cuplikan siaran televisi ini adalah program yang dipersiapkan stasiun televisi pada saat siang dan malam-malam Ramadhan. Salah satu acara yang banyak ditunggu para pemirsa adalah acara “Hadits-hadits Palsu” yang dijadwalkan selepas sahur. Program khusus Ramadhan ini direncanakan tayang pada pukul 04.30-05.00 WIB. Sesuai judul acaranya, dipastikan mengupas tentang hadis-hadis populer di masyarakat. Pertama kali melihat iklan ini, dari hati kecil yang paling dalam ada rasa tidak sepakat acara ini tayang di Negara mayoritas muslim, namun tidak menggunakan hukum dari agama penduduk mayoritas. Mungkin ketidak-sepakatan saya ini berbeda dengan beberapa orang yang sampai malam ini ramai di akun twitter dan fun page RCTI menanyakan kenapa acara ini tidak tayang. Dari sisi memperkaya khazanah keilmuaan terutama dalam bidang hadis tentunya, acara ini sangat ditunggu banyak orang, terutama bagi sebagian penggiat ke-islaman demi kemajuan islam atau mungkin tujuan lain. Ada beberapa alasan kenapa saya tidak sepakat acara “Hadits-Hadits Palsu” ini ditayangkan; Pertama: menentukan sebuah hadis palsu atau asli, tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Diperlukan beberapa kriteria penguasaan pengetahuan seputar hadis yang akan diklaim sebagai palsu atau tidak. Seperti Ilmu Rijal al-Hadis, Matn al-Hadis, Takhrij al-Hadis dan masih banyak ilmu yang berkaitan lainnya. Sebagai pertimbangan, saya teringat dengan seorang kandidat doctor dalam bidang hadis ketika merunut satu hadis hanya dari sisi ke-dhabit-an perawinya membutuhkan waktu sekitar seminggu. Ini untuk satu sisi dan satu hadis saja, dan bukan untuk mengklaim hadis itu palsu atau tidak. Pertimbangan lain, sejarah mencatat banyaknya perbedaan dari kalangan ulama salaf dan kontemporer dari sisi penetapan hukum, terkadang bersumber dari satu masalah yaitu, perbedaan memaknai suatu hadis, dari berbagai sisi yang terkait dengan hadis yang dijadikan sumber dalil dan rujukan. Artinya, satu hadis di dalamnya bahtera luas dari berbagai aspek yang harus dikaji. Sampai di sini, maka lahirlah pertanyaan; siapa pembawa acara “Hadits-Hadits Palsu” di RCTI?. Tanpa niat memandang rendah kadar keilmuan seseorang, dari pertimbangan pertama dan kedua bisa ditarik kesimpulan dengan sedikit membandingkan sebuah acara di televise, akan terjadi benturan dengan waktu, dan pertanyaan presenter. Realnya begini, ketika pembawa acara mengatakan hadis ini palsu, benarkah itu palsu?, atau jangan-jangan, pernyataan pembawa acara itu yang palsu. Cukupkah waktu yang sedemikian singkat untuk mengklaim sebuah hadis palsu atau tidak?. Kedua: mari kita sedikit berbicara dengan efek pernyataan singkat dari sebuah fatwa agama di televisi. Kalau tidak salah tiga tahun lalu, pakar tafsir M. Quraish Sihab merilis pernyataan bolehnya wanita muslimah tidak memakai jilbab, ungkapan itu bukan fatwa, tapi pak Quraish mengutip salah satu pendapat dari seorang Ulama, tapi apa yang terjadi?, banyak yang justru tidak melihat hal itu sebagai kutipan tapi sebagai fatwa. Kalau hari ini ibadah sebahagian masyarakat nilainya 8, saya tidak bisa membayangkan setelah acara “Hadits-Hadits Palsu” tayang, nilainya menurun di bawah 8. Kemalasan dan godaan akan dibantu dengan sedikit pengetahuan bahwa ini palsu dari pernyataan seorang nara sumber, yang sebenarnya bukan fatwa. Sebagai perumpamaan, ketika pemerintah mengumumkan hari lebaran jatuh hari kamis, dan salah satu organisasi mengatakan hari Rabu, maka banyak yang memilih hari Rabu. Karena selain mendukung kemalasan beribadah, godaan, ada juga yang melihat lebaran pada hari rabu itu adalah fatwa. Intinya kualitas keagamaan masyarakat kita belum sampai ke situ (maaf kalau ini klaim). Alangkah lebih bijak, jika mengetahui suatu hadis palsu atau tidak, bukan melalui kemasan mengumbar di televisi. Pengetahuan tentang kesahihan hadis adalah pengetahuna lanjutan. Seperti halnya memberikan daging sapi kepada seorang bayi. Daging sapi itu baik, tapi belum cocok untuk kadar seorang bayi. Tulisan ini sebelumnya saya telah publish di blog saya Baca kaidah penyelesaian perbedaan tentang hadis di sini Sumber gambar di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun