Mohon tunggu...
Mushab Hassan
Mushab Hassan Mohon Tunggu... Jurnalis - writer

I write esports a lot

Selanjutnya

Tutup

E-Sport Pilihan

Legasi Dota Tak Pernah Sirna

16 November 2021   22:48 Diperbarui: 17 November 2021   02:19 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana turnamen DotA saat warnet masih berjaya. Sumber: dokumentasi pribadi IESPA

Bicara soal Dota, pikiran saya sontak mendobrak ingatan masa kecil saya yang penuh dengan memori warnet berbilik  "Billing Explorer" bergambar lumba-lumba dengan latar warna biru muda. Warnet-warnet dahulu seringkali sunyi berisikan remaja "ABG" era awal internet, atau justru bocah-bocah penggila game online bereuforia memainkan permainan kesukaannya. 

Nama-nama game online seperti Point Blank, Lost Saga, hingga Ayodance menjadi permainan jawara warnet-warnet kecil di era 2006-2010. Namun di tengah semua game yang suaranya menggelegar meriuhkan seisi warnet, nampak satu game yang eksistensinya tak lekang oleh waktu. Ya, itulah Defence of the Ancient atau Dota yang kini umurnya sudah menginjak hampir 19 tahun.

Game bergenre Multiplayer Online Battle Arena atau MOBA tersebut merupakan salah satu videogame terpopuler saat ini. Per  November 2021, Dota 2 menjajaki peringkat kedua steamcharts.com dengan catatan sebanyak 410 ribu hingga 750 ribu pemain aktif dalam game. Game yang di-remake Valve pada 2011 lalu juga selalu menggelar turnamen dengan hadiah terbesar setiap tahunnya. The International, begitu Valve menjulukinya sebagai helatan turnamen esports paling bergengsi dengan  hadiah ratusan miliar rupiah. Dota 2 juga kini menjadi pemegang gelar videogame dengan hadiah terbanyak sepanjang sejarah dilansir dari esportsearnings.com

Jumlah pemain Dota 2 per November 2021. Sumber: steamcharts.com
Jumlah pemain Dota 2 per November 2021. Sumber: steamcharts.com

 Di umur yang hampir menginjak dua dekade, Dota  sempat dinilai "slowly dying" pada pertengahan 2020 kemarin. Alasannya? Bermacam-macam, mulai dari ditundanya penyelenggaraan The International 10, merebaknya akun "smurf" dalam game, hingga turunnya angka pemain aktif dalam game dengan angka yang masif. 

Dengan cuek saya hiraukan desas-desus tersebut. Sebagai salah satu pecinta game Dota  yang sudah bermain selama hampir 15 tahun, saya tangkal gosip tersebut dengan beberapa alasan mengapa Dota tidak akan pernah mati

1. Game dengan mekanik yang rumit

Kampiun The International 5, Kurtis 'Aui_2000' Ling sering bergumam di meja analisis turnamennya bahwa Dota 2 merupakan game yang sangat kompleks hingga hal sekecil apa pun berpengaruh terhadap jalannya permainan. Ex-pro player yang kini menjadi caster dan analis tersebut menyoroti setiap hal sekecil apapun yang saling berpengaruh dalam Dota yang biasa disebut mekanik. 

Kevin 'Purge' Godec, seorang Youtuber dan juga pundit Dota 2 menjelaskan bahwa mekanik dalam Dota 2 diibaratkan seperti sebuah gir mesin yang saling beroperasi satu sama lain. Setiap gir yang bekerja dengan baik, tentu akan membuat gir-gir lain bekerja dengan semestinya, begitu pun gir yang bekerja dengan buruk. 

Semua mekanik yang ada dalam Dota selalu berubah seiring dengan berkembangnya Patch. Alasan itu lah yang membuat istilah META (Most Effective Tactics Available) lumrah di telinga pecinta Dota. Purge sendiri, setiap kali patch baru keluar, selalu merilis video analisis yang berdurasi sangat panjang. Patch terakhir yakni 7.30 yang rilis beberapa bulan lalu ia preteli hingga durasi video berjalan 4 jam lamanya.

Menurut saya, dengan kompleksitasnya yang maksimal, Dota 2 justru akan terus menggaet pemain-pemain baru yang tertantang dengan game bergenre MOBA. Bahkan pemain Mobile Legend sekelas Xin pun mengakui sulitnya bermain Dota 2 ketimbang Mobile Legend. 

Pendapat Xin terkait Dota 2 dalam sesi livestremnya. Sumber: Youtube Seputar Dota
Pendapat Xin terkait Dota 2 dalam sesi livestremnya. Sumber: Youtube Seputar Dota

2. Komunitas yang besar dan aktif

Tercatat semenjak The International 2013 lalu, Valve selaku penyelenggara resmi The International mengumumkan sistem baru dalam menentukan total hadiah The International. Dengan nama "Compendium", Valve merilis  in-game purchasable item berbasis crowdfunding bagi para pemainnya guna mengakumulasi hadiah untuk para pemenang The International. 

Semula menyediakan total hadiah sebesar $1,600,000, Compendium The International 2013 berhasil mendongkrak hadiah uang sebesar $1,274,380. Sistem Compendium lalu menjadi ciri khas Valve dalam mendulang hadiah The International yang kian tahun angkanya makin fantastis. 

Helatan terakhir The International yang digelar Oktober lalu berhasil menerima dana "patungan" para fansnya sebesar $38,418,195 atau sekitar 500 miliar rupiah. Setiap tahun, The International selalu menembus rekor turnamen esports dengan hadiah terbesar akibat dukungan dari komunitasnya yang besar. Hal tersebut menjadi penanda bahwa Dota 2 tak akan pernah mati ketika komunitasnya besar dan hidup.

Battle Pass The International 2020. Sumber: dota2.com
Battle Pass The International 2020. Sumber: dota2.com

3. Valve selaku developer cukup gigih menjaring pemain baru

Guna menjaring newcomer, Valve menaikkan kisah karakter-karakternya ke layar kaca pada 25 Maret 2021 lalu. Berjudul Dota: Dragon's Blood, Valve bekerjasama dengan Netflix dan Studio Mir untuk memproduksi serial yang berisikan 8 episode. Studio Mir sendiri merupakan salah satu studio kenamaan asal Negeri Gingseng yang sudah membuat series Korra dan film Mortal Kombat. 

Nyatanya upaya Valve berbuah manis. Mengacu pada data streamcharts, Dota 2 mengalami lonjakan pemain per April 2021 lalu dengan penambahan sebanyak 23.000 pemain. Angka tersebut cukup drastis lantaran jika kita berkaca pada 2 bulan sebelumnya, Dota 2 kehilangan sebanyak 40.000 pemain. 

Game-game "lawas" seperti Pointblank dan Ayodance mungkin sudah benar-benar kehilangan pemain setianya seiring dengan berkembangya zaman, terutama akibat merebaknya mobile games. Bahkan Lost Saga dan beberapa game warnet lain nampaknya eksistensinya sudah benar-benar hengkang dari Indonesia. Tidak dengan Dota, tiga alasan di atas menurut hemat saya merupakan argumen paling kuat mengapa Dota 2 tak akan pernah mati, setidaknya dalam waktu dekat ini. Tak menutup kemungkinan Valve akan membawa gebrakan baru guna memanjakan komunitasnya atau mencari pemain-pemain baru. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten E-Sport Selengkapnya
Lihat E-Sport Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun