Mohon tunggu...
Haryati Mustafa
Haryati Mustafa Mohon Tunggu... -

Mahasiswi tingkat akhir salah satu Perguruan Tinggi Kedinasan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tentang Rumah di Pinggir Pantai Berdinding Kaca..

26 Januari 2011   12:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:10 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“….”
“saya masih punya mimpi.
masih ingin sekali mebuatkanmu rumah
di pinggir pantai,
dindingnya kaca.
seperti yang pernah saya janjikan padamu.
walaupun kamu gak pernah bilang pengen ditinggali bareng siapa..
saya masih ingin menatap ceria wajahmu,
manisnya senyumanmu,
dan merasakan dingin tanganmu saat saya genggam..
kau dengar itu, t?
yah, sudah gak dijawab.
sudah tidur y?
maaf tadi sudah mencium keningmu diam-diam..
gak ada yang berubah, t.
saya masih sayang sama mu..”
tut.. tut.. tut..

suara orang di seberang menghilang. ternyata telponnya sudah ditutup. saya belum tidur. tadikan pura-pura aja. hehe.
entah angin apa yang membawamu malam ini. setelah sekian lama menghilang. maaf tadi tak sempat tanyakan kabarmu. semoga kamu baik-baik saja.
saya mungkin tidak tau persis apa yang ada di otakmu saat ini. mungkin saja, apa yang kau katakan itu semuanya benar. atau setengah benar. atau tidak ada yang benar. entahlah. yah, untuk kali ini maaf untuk tidak peduli.

saya memang ingin sekali dibuatkan rumah di pinggir pantai dengan dinding kaca. oleh mu. “nanti saya bayar, berapapun kamu mau. tapi keknya gratis saja ya, onta.”
BODOH!
“jangan liat saya keq gitu!” hahhaahhaha.. ternyata oh ternyata..

sebenarnya saya benci “dipaksa” mengenang yang sudah lalu tentangmu. saya terlalu malas mengingat-ingat. saya takut candu. dan akhirnya ragu. kita sudah beda. tidak lagi tentang satu tujuan. tidak lagi tentang rumah di pinggir pantai dengan dinding kaca. tidak lagi tentang senyum delapan tahun yang lalu. atau jalan panjang dari pertigaan ke sekolah. tak ada lagi pantai tempat kita teriak-teriak gak jelas. atau ban motor yang sering banget pecah. hujan dengan mu yang membuat saya dijewer habis-habisan. atau sapaan lembut ibumu tiap saya ke rumahmu, “eh, ada anak mantu. sini makan dulu.” sigh!! saya benci untuk kenangan tentangmu yang meminta selalu diingat.
huh..
sudahlah. saya tidak akan peduli lagi. lukanya sudah kering, jangan biarkan berdarah lagi. katamu kau sakit, begitu juga saya…
selebihnya, simpan saja.

*maaf…
karena ada hati yang saya harus jaga dan kisah yang akan saya teruskan atas izin-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun