Biarkanlah waktu terus berjalan
Tetaplah jadi anak manusia yang mulia, apapun dan kapanpun yang menghadang
Janganlah engkau galau dengan alang rintang yang menghadang
Karena sesungguhnya itu semua hanyalah cobaan silih berganti
Jadilah manusia pemberani melawan rasa takut yang menghampiri
Karena niat suci dan murni adalah bekalmu yang sejati
Janganlah pandang benci musuhmu yang menghadang
Karena sejatinya apabila kamu mengetahui, sesungguhnya keberadaan musuhmu merupakan ujian yang membentuk karakter dan kepribadianmu
Takkan ada yang abadi segala suka dan duka
Takkan kekal segala kebahagian dan kesulitan
Berjuanglah, berkarya, dan ciptakan sekreatif mungkin mimpimu
Gapailah setinggi-tingginya impianmu dan wujudkan menjadi nyata bagimu
Maka ada lima keutamaan untukmu
Motivasi yang tak akan pernah padam, memperkaya khasanah kehidupan, kekuatan yang maha dahsyat, bekerja penuh tujuan serta meluaskan ilmu
PROLOG
Realitas yang keras
Hidup adalah sebuah perjuangan. Tanpa kekuatan mimpi manusia seperti kerbau yang bekerja tanpa tujuan. Allah menganugerahkan segala imajinasi dan mimpi sebagai kekuatan maha dahsyat didalam hati dan pikiran kita. Aku bersyukur karena sebuah mimpi itu kini membuatku menjadi manusia yang berarti...
“Musa Rustam”
Cerita masa kecil nan indah yang hampir semua anak-anak nikmati, begitu juga anak-anak pinggiran kota Jakarta dekat bantaran kali Ciliwung, ketika mereka membuat sebuah perahu dari Daun Bambu yang dibentuk si Anak ini. Adakalanya, pada saat akhir pekan ataupun sore hari menjelang, anak-anak kali dari kawasan Kampung Pulo ini berenang ramai-ramai menelusuri kali/sungai ciliwung yang tidak begitu bening dan tidak begitu bau. Musa, Holil, Jajat dan Fadil, empat sahabat yang selalu tertawa dan tersenyum bersama dalam bermain dilapangan dekat bantaran kali, kadang mereka mencoba sebuah petualangan menyusuri sungai dengan perlengkapan seadanya dengan perahu yang terbuat dari gabus ataupun busa maupun dari kedebong pisang. Menikmati arus deras dan ombaknya kali ciliwung.
Musa kecil tumbuh dan berkembang bersama-sama teman sepermainannya, Holil, Jajat dan Fadil disebuah kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu kecamatan Jatinegara Jakarta Timur, lahir pada hari Kamis 31 Maret 1983 sebuah keluarga kecil dari anak pertama pasangan Rustam dan Rinah, lahir dengan proses yang sangat rumit waktu itu dimana hanya ada satu dukun beranak kala itu, dari sebuah kampung, yah dukun beranak yang bernama Mak Okih biasa orang-orang memanggil. Musa dilahirkan sebagai anak pertama dari empat bersaudara, sehingga mempunyai tanggungjawab yang besar kepada adik-adiknya, terutama dalam memberikan nafkah untuk adik-adiknya dikarenakan tidak berdaya ayahnya yang sakit sehingga tidak dapat memberikan nafkah kepada mereka. Musa tulangpunggung keluarga, Musa tumbuh dan berkembang dengan segala kekurangan dan himpitan ekonomi yang membuatnya menjadi mandiri dalam menjalani hidup ini, dengan berbagai cobaan dan ujian, Musa mencoba bangkit dengan usaha dan kerja keras sehingga mencoba menciptakan sebuah harapan dan impian menjadi seorang Pegawaiprenuer yang dapat menginspirasi bahwa sukses itu hak untuk semua orang.
Dalam hidup ini, manusia tidak bisa memilih akan dilahirkan dari keluarga mana dia berasal. Di saat itu tak ada cara lain kecuali untuk bertahan dan berjuang, kita temukan apa yang ada pada diri kita. Perjuangan itu harus aku jalankan demi kelangsungan hidup dan keluargaku. Kematian kakekku adalah awal dari perjuangan dalam mengubah hidupku...
Jakarta, 31 Maret 1983 seorang anak laki-laki pertama, putra dari pasangan Rinah dan Rustam, lahir di sebuah kamar dengan ukuran 2 X 3 m2 dengan bantuan dukun beranak yang bernama Mak Okih. Sebuah proses sangat luar biasa kala itu, proses persalinan dengan perjuangan seorang ibu antara hidup dan mati dalam melahirkan anak manusia. Tidak ada teknologi yang luar biasa ketika itu, tanpa jarum suntik, tanpa peralatan medik yang canggih, maupun tenaga bidan ataupun dokter, hanya beberapa peralatan seadanya dengan semangat dan keyakinan yang kuat dari sebuah proses persalinan kala itu. Tepat pukul 00.45 WIB Kamis dini hari, lahir dengan sehat ke dunia anak yang sangat lucu dan manis dengan suaranya sangat kencang menangis menandakan kehadirannya. Didekati seorang laki-laki yang sudah mulai putih rambutnya oleh perempuan yang bernama Mak Okih, lalu didekatkan telinga sang bayi untuk di azdan kan. Allahu akbar.... Allahu akbar.... Allahu akbar... suara adzan itu terdengar sangat indah, perasaan haru dan bercampur bahagia tercermin dimata Yusuf, ayah dari Rustam, karena kala itu Rustam masih kebingungan dan panik melihat Rinah yang sedang lemas dan letih selesai pasca persalinan. Proses persalinan yang panjang ditandai dengan banyak kejadian-kejadian yang sangat memprihatinkan, dikarenakan minimnya pengetahuan jadi memperlambat proses persalinan. Bayi dengan berat kira-kira 2.9 kg dengan panjang 48 cm, lahir dengan selamat diberi nama Musa tanpa nama panjang ataupun embel-embel yang lain. Nama pemberian dari Sang Kakek, diambil dari nama nabi yang gagah berani melawan Raja Fir’aun di Mesir. Musa lahir dikeluarga pedagang warung dikampung Pulo, Rustam adalah ayah dari Musa, kesehariannya adalah pedagang kelontong yang sehari-harinya berjualan dirumah, menyediakan kebutuhan rumah tangga dan bahan pokok makanan yang biasa dipakai kebutuhan sehari-hari. Rustam adalah anak ke empat dari pasangan Yusuf dan Mashito, Yusuf merupakan pedagang yang sukses kala itu memiliki warung yang dibilang lumayan lengkap dan ramai dikarenakan waktu itu dibilang masih sangat minim persaingannya, belum banyak persaingan kala itu, menjadikan usaha yang dibilang sukses, memiliki luas tanah yang cukup luas untuk anak cucu yang hampir dibilang “tujuh turunan” tidak akan habis-habis dimakan. Musa kecil sangat bahagia ketika sang kakek masih ada, segala sesuatu masih sangat mudah didapat karena kebutuhannya masih mudah didapat dari warung. Menginjak Musa umur 3 tahun, bulan ramadhan 1986, sang Kakek wafat dikarenakan sakit yang tak kunjung sembuh diakibatkan penyakitnya yang belum jelas penyakit karena apa? Sedih sangat terasa, walaupun aku kala itu belum memahami dan mengerti apa yang terjadi dari semua orang menangis dan muram. Begitu cepat kejadian dan peristiwa terjadi, ayahku pun tidak aku mengerti, banyak perubahan-perubahan yang terjadi. Dari mulai sulitnya menjalani hidup ini. Keceriaan, tawa dan canda mulai terasa suram, aku belum paham dan mengerti apa yang terjadi semuanya itu. Mulai satu persatu, rumah serta warung dikontrakan dan akhirnya hingga dijual satu persatu tanpa bekas. Musa menjalankan kehidupan yang sangat pahit dikarenakan dia adalah anak pertama dengan empat bersaudara yang menjadi tanggungjawabnya kelak dewasa, semasa SD kelas 3, musa sudah pandai berjualan, berkeliling kampung Pulo hingga menyebrang kampung dengan bantuan “getek”. Musa mencoba menjajakan dagangannya sambil meneriakkan “sate ayam “...”ucus goreng...kepala ayam”. Musa mencoba menapakkan semangat dan senyumnya berusaha membantu sang ibu. Dikarenakan Sang Ayah tidak bisa bekerja memberi nafkah untuk keluarga dikarenakan sakit yang tak kunjung sembuh dari kesadarannya. Hari demi hari Musa menapaki setiap jalan becek, dari satu gang ke gang, masuk kampung keluar kampung berkeliling menjajaki daganganya, mencoba mencari penghasilan untuk kebutuhan adik-adiknya yang masih kecil. Musa mencoba berjuang dengan penuh keyakinan suatu saat nanti bisa sukses menjadi ABRI. Iya, cita-cita yang hampir umum untuk anak laki-laki kala itu, menjadi seorang laki-laki gagah dan berani membela negara dan bangsa. Musa bersekolah di SDN 01 Pagi Bukitduri Tebet Jakarta Selatan, berangkat sekolah dari rumah menggunakan alat transportasi “getek” bersama-sama temannya menyebrangi sungai ciliwung yang membatasi kampung pulo dengan bukitduri. Musa kecil sangat mandiri tanpa disuruh ibunya, Musa berinisiatif berjualan setiap hari pulang sekolah dengan berbeda-beda produk yang dia jual, mulai dari makanan berupa sate ayam goreng, putu mayang, tempe goreng dan risol goreng pernah dia jajakan, Musa kecil sangat bahagia, apabila musim banjir pun dikarenakan sekolah menjadi libur. Keuntungannya dibilang lumayan dua kali lipat karena hampir semua orang membeli makanan yang dijajakan dikarenakan semua berasa lapar ketika banjir, tidak bisa memasak karena banjir, penghasilannya dibilang lumayan karena itu. Banjir di Kampung Pulo sudah menjadi langganan setiap tahunnya karena Kampung Pulo terletak didataran sangat rendah yang kampungnya dikelilingi oleh sungai ciliwung sepanjang kampung. Banjir menjadi sudah biasa, kampung yang berdampingan dengan banjir yang sudah dianggap menjadi konsekwensi dari musim hujan yang melanda ketika di daerah puncak hujan lebat, 8-9 jam kemudian banjir akan menggenangi kampung hingga mencapai kedalaman 2 meter, mencoba hidup damai dan berdampingan dengan banjir menjadi wajah tiap tahun musim penghujan di Kampung Pulo. Musa mencoba menyikapi segala sesuatunya dengan positif, keadaan serba sulit ini membuat Musa kecil mencoba bangkit dari keterpurukan, menjalani kehidupan sebagai pengungsi banjir dijalani dengan senyum dan sabar, dalam wajah kesedihan yang tercermin terkandung sebuah harapan dan impian ketika melihat para Fasilitator dari mbak-mbak trauma healling dalam menghibur anak-anak korban banjir, mereka menyatakan bahwa semua bencana dan duka itu pasti ada hikmahnya, jadi adik-adik tidak perlu takut, dibalik setiap ujian dan bencana semua itu pasti ada sesuatu yang indah kelak. Ku coba merenung dan selalu menanamkan mimpi dan khayalanku, nanti kelak aku dewasa akan menjadi seseorang yang bermanfaat untuk orang lain, mimpi dan hati kecil yang mulia itu lahir dari sebuah keprihatinan akan diri sendiri, dengan segala keterbatasan dan kekurangan, Musa kecil terus berjuang mencoba mencapai mimpi dan harapan dengan selalu belajar dan bekerja keras dengan berjualan suatu saat nanti akan menjadi orang sukses. Semua itu berawal dari pernyataan Kakek yang sangat sayang dengan cucunya yang dipesankan oleh Bapak, kata-kata itu terus terngiang ; “Musa harta kakek tujuh turunan tidak akan pernah habis-habis dimakan semua keluarga hingga tujuh turunan”. Ingatan masa kecil yang terus ditanamkan sama kakek melalui Bapak, menjadi cambuk luar biasa, aku sering diejek-ejek sama teman sepermainan ku karena dianggap menjadi anak sial, karena aku adalah “anak keturunan delapan” “Musa anak keturunan delapan” wkwkwk sambil tertawa dan terbahak-bahak semua menertawakan diriku, mereka mengejek berramai-ramai. “Dasar anak keturunan delapan sih,,,sialkan jadinya keluarga kamu tuh, ayo jangan ditemenin anak sial itu anak keturunan delapan” Sungguh sangat menyedihkan sekali aku masa itu, aku dianggap menjadi anak sial, karena aku keturunan delapan, yang menyebabkan kesulitan ekonomi keluargaku itu dikarenakan kehadiranku yang membuat semuanya menjadi hancur, tanah yang begitu luas, rumah yang begitu banyak, sampai dengan warung habis tak bersisa, yang ada hanya cerita dan kenangan, semua itu habis dan tanpa bekas. Aku pun tidak mengerti mengapa semua itu terjadi, apakah benar itu memang semua karena penyebabnya karena aku, sungguh luar biasa mata air ku tak terbendung, meratapi begitu malangnya aku, tidak banyak yang mau berteman dengan ku kala itu, karena dianggap menjadi sebuah musibah karena kelahiranku. Ibukulah yang menjadi penyemangat ku dalam membangkitkan semuanya dari keterpurukan mental dan percaya diri yang begitu hancur. “Musa, yang sabar yah, ibu tahu Musa sedih dengan kelakuan teman-teman Musa, janganlah kamu bersedih, anakku semuanya itu sudah diatur sama Allah SWT, jadi Musa jangan bersedih, suatu saat nanti Musa akan menjadi orang hebat karena kesabaran dan kerja keras Musa dalam menghadapi cobaan hidup ini” “Ibu hanya bisa mendoakan kelak engkau jadi orang yang berguna dan orang-orang akan melihat karyamu akan berguna untuk orang lain, ketika kamu tetap sabar ketika menjalankan cobaan dari Allah dan kamu tetap tidak sombong ketika kamu sukses ‘nak” “percayalah ‘nak sebuah kesuksesan itu kelak akan kamu raih dengan kerja keras dan senyummu akan bermanfaat untuk mereka, jadikanlah masa-masa sulit ini menjadi pembelajaran yang terus kamu ingat, disaat kamu pun diatas kamu tidak akan pernah sombong, karena kesombongan kamu itu justru akan menghancurkan diri kamu sendiri” “Ibu sangat sayang sekali dengan Musa, terima kasih banyak yah ‘nak, waktu bermainmu kamu menjadi berjualan setiap hari demi kebutuhan hidup kita sehari-hari” air mataku tak tahu kenapa menetes deras membasahi tangan ibu, ibu pun sama meneteskan air mata, kami larut dengan air mata sebuah harapan, suatu saat nanti aku yakin menjadi orang sukses. Itulah emosi yang sangat yang menemaniku kuat dalam menapaki hidup dengan harapan serta doa dari ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H