Kita boleh bangga karena akhir tahun lalu sistem peringatan dini tsunami Indonesia (Ina-TEWS) telah dikukuhkan UNESCO sebagai terbaik di dunia dari sisi kemampuan mengukur parameter fisis tsunami dengan detail dan akurat. Namun jangan lupa pada noda birokrasi rantai peringatan bencana untuk gempa Aceh, 11 April 2012.
Kesalahan fatal dilakukan komponen di bawah Ina-TEWS karena sirine pertanda tsunami diperdengarkan lebih dari 30 menit pascagempa bumi, begitu juga perintah evakuasi oleh pemerintah setempat tidak dilakukan. Jangan sampai kita menantang gempa dengan masih sibuk terhadap birokrasi yang mengancam jutaan rakyat Indonesia. PP No 21 Tahun 2008 tentang penanggulangan bencana lebih baik ditinjau kembali untuk penyelenggaraan peringatan yang lebih mudah sampai kepada area terdampak.
Sudah 10 tahun tsunami Aceh berlalu, kemampuan dalam mencari solusi bencana jenis ini hingga sekarang tak sempurna karena belum menjadi agenda serius untuk masa depan Indonesia. Selama ini pemerintah pusat selalu terpaku pada pembentukan instansi dan revisi regulasi dengan sedikit kemajuan pada bidang teknologi.
Sebelum berjalan lebih jauh, visi dan misi kebencanaan Indonesia harus diperjelas karena masa depan keselamatan rakyat akan selalu berada pada ruang abu-abu, terutama terkait bencana tsunami yang paling menakutkan. Riset dan teknologi diharapkan mampu menjadi solusi terdepan sehingga member revolusi baru bagi dunia prediksi kebencanaan Indonesia.
Hal ini penting bukan hanya mampu meminimalisasi, tapi juga mencegah korban jiwa. Revolusi terhadap ilmu kebencanaan membutuhkan dukungan semua pihak demi sinergi antara pemerintah dan masyarakat luas. Mari dukung revolusi prediksi kegempaan dan tsunami demi masa depan Indonesia yang aman, nyaman, dan sejahtera.Â
Opini Penulis dimuat di Koran Jakarta 12 Januari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H