Belum hilang dari ingatan, tanggal 26 Desember lalu bertepatan usia satu dasawarsa tsunami Aceh (2004), megatsunami dengan jumlah korban terbanyak dalam sejarah dunia dan juga melumpuhkan Provinsi Aceh. Peristiwa berketinggian 34 meter tersebut terjadi pada pagi hari sekitar pukul 8.00 WIB. Kejadian diawali gempa bumi dahsyat berkekuatan 9.2 SR di dasar lepas pantai barat Sumatra. Tepatnya pantai barat Kota Meulaboh, Aceh Barat.
Tsunami yang ditaksir telah merugikan negara 2 triliun rupiah serta menelan lebih dari 200.000 korban tewas dan puluhan ribu korban hilang dari berbagai negara tersebut telah melahirkan catatan kelam kebencanaan Indonesia. Ini juga mengajarkan banyak untuk berbenah.
Gempa bumi dan tsunami merupakan dua bencana yang sangat terkait karena tsunami sebagai implikasi langsung gempa bumi dengan syarat-syarat tertentu. Khusus gempa tektonik bisa berpotensi tsunami bila pusat gempa berada di dasar laut dangkal (7 SR), serta mekanisme patahan berjenis vertikal.
Deformasi vertikal di dasar laut berimbas pada perpindahan massa badan air, sedangkan magnitudo dan kedalaman sangat berkaitan karena menggambarkan besaran energi gempa mampu mengangkat material batuan di atasnya. Sekalipun magnitudo besar (>7SR), namun terletak sangat dalam (> 70 km), maka energi akan teredam sehingga kurang mampu menggetarkan permukaan. Jika parameter gempa tersebut terpenuhi, peringatan dini tsunami akan dipublikasi secara cepat ke wilayah terdampak. Para ahli menyebut jenis gempa yang memenuhi parameter tersebut tsunami-earthquake.
Namun fakta di lapangan menunjukkan keunikan ketika survei pascatsunami. Sebelum tsunami, banyak penduduk di pesisir barat Meulaboh tidak merasakan gempa, namun melihat secara langsung air laut surut secara signifikan. Kemudian juga timbul bau garam dan angin dingin di pantai yang menunjukkan bahwa di laut lepas sedang terjadi turbulensi air laut.
Lalu timbul suara gemuruh akibat resonansi bunyi gulungan air dengan dasar laut yang terus mengalami pendangkalan. Suara tersebut menyerupai badai, deru kereta api, truk besar, helikopter, dan roket yang mendesing. Jenis suara dipengaruhi posisi tsunami saat menjalar ke pantai yang landai, terjal, atau saat menghantam tebing batu. Seiring dengan berkembang ilmu pengetahuan, para ahli masih menyelidiki tanda-tanda fenomena alam atau prekursor sebelum tsunami tersebut. Kini telah muncul istilah tsunami-genic yang berarti potensi tsunami tanpa diawali getaran gempa, namun dapat diprediksi melalui fenomena alam.
Cerita tsunami dahsyat negeri ini tidak hanya Aceh 2004. Kejadian lain antaranya tsunami selat Sunda yang dipicu letusan raksasa gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883, kemudian tsunami Flores 1992 menelan 2.000 korban jiwa, tsunami Banyuwangi 1994 menelan 38 korban jiwa, dan tsunami Biak 1996 menelan 107 korban jiwa. Ada juga tsunami Nias 2005, Pangandaran 2006 menelan 700 korban jiwa, dan Bengkulu 2007.
Indonesia merupakan kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik aktif dunia: Eurasia, Indo-Australia, Filipina, dan Pasifik. Ditambah lagi Indonesia dilalui jalur cincin api dunia. Ini ditandai dengan sabuk vulkanik yang memanjang dari pulau Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi. Kondisi tersebut sangat memicu berbagai bencana seperti erupsi gunung api, gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor. Data dari United States Geological Survey menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki frekuensi kegempaan tertinggi di dunia, 10 kali lipat frekuensi Amerika Serikat.
Riset
Perlu dipahami bahwa prediksi kegempaan di belahan dunia mana pun belum dapat dilakukan. Hingga kini prediksi belum memiliki standar operasional dan tsunami tidak dapat diprediksi sebelum gempa karena kompleksitas proses tektonik dan ketidakmampuan mengukur parameter fisis di dalam bumi. Sebelum kemerdekaan hingga awal milenium kedua, gempa hanya diamati dengan peralatan seismograf sederhana.
Kini BMKG melalui Pusat Penelitian dan Pengembangan Geofisika terus melakukan riset terhadap anomali yang mendahului gempa (prekursor). Tidak hanya anomali seismik, nonseismik antara lain gravitasi, magnit bumi, ionosfer, kelistrikan bumi, zat radioaktif, perubahan tinggi permukaan air tanah, dan perubahan suhu air tanah juga dapat dijadikan pendekatan dalam studi pragempa. Data anomali tersebut dikumpulkan, dianalisis, dan dibuat formulasi atau model untuk memprediksi gempa atau tsunami di masa mendatang.