Kutipan di atas menegaskan bahwa hubungan antara bumi dan seorang perempuan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Secara konseptual dan simbolik cukup jelas, bumi dan perempuan sama-sama melahirkan, merawat, menyayangi, menghidupi, dan sewaktu-waktu juga bisa menghancurkan. Dari sini lalu muncul istilah-istilah yang identik dengan istilah perempuan seperti ibu bumi, bumi pertiwi, badai katarina, dan aurora.
Secara substansial, ekofeminisme merupakan penggambaran yang tepat untuk menjelaskan keterkaitan antara bumi dan perempuan.
Warren mendefinisikan ekofeminisme sebagai jalinan hubungan atau interkoneksi yang kuat antara perempuan, liyan (isu dominasi, eksploitasi, dan kolonisasi), dan alam. Kerusakan alam sama artinya dengan kematian perempuan dan anak-anak karena kedua kelompok tersebutlah yang paling terdampak jika alam ini rusak. Oleh sebab itu isu-isu yang berkaitan dengan alam juga adalah isu feminisme.
Ekofeminisme hadir bukan tanpa cela. Ni Nyoman Oktaria Asmarani menjelaskan bahwa alam bukan persoalan gender atau manusia melainkan isu setiap entitas di muka bumi. Tidak ada istilah 'perempuan lebih baik dalam merawat alam ketimbang laki-laki.'
Meski mengkritisi ekofeminisme, Ni Nyoman Oktaria Asmarani menilai bahwa ekofeminisme memiliki nilai-nilai yang dapat mengeratkan perempuan-perempuan yang tertindas untuk bangkit berjuang, terutama di negara-negara dunia ketiga.
Mama Aleta Baun, aktivis lingkungan seperti Surmi mengatakan bahwa ketimpangan gender dan minimnya pelibatan perempuan dalam akses dan tata kelola perlu untuk dibenahi. Tujuan mulia dari gerakan ekofeminisme adalah menuntut keadilan lingkungan dan menentang dominasi dan eksploitasi berlebihan terhadap alam.
OXFAM dan Transisi Energi Adil
Perjuangan Surmi dan kelompok rentan lainnya perlu untuk terus digaungkan. Mereka butuh ruang untuk didengar dan dilibatkan dalam proses transisi energi yang adil.
Oxfam merupakan konfederasi internasional yang fokus pada gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan. Kehadiran Oxfam di Indonesia sejak tahun 1957 merupakan angin segar, terlebih bagi mereka kaum marginal.
Oxfam tidak hanya menggandeng pemerintah dan masyarakat sipil, komunitas lokal juga turut diberdayakan. Perubahan yang ingin dicapai adalah keadilan gender, keadilan ekonomi, dan hak-hak dalam krisis.Â