John Mearsheimer, seorang ilmuwan bidang Politik dan Hubungan Internasional dari Amerika Serikat, memprediksi jauh-jauh hari tentang intensitas konflik Amerika Serikat dan China pada tahun 2005 silam. Menurut Mearsheimer, perkembangan ekonomi China yang melesat pesat akan menimbulkan kekhawatiran bagi China. China membangun dinding halaman belakang 'rumahnya' setinggi-tingginya untuk menjauhkan diri dari usikan Amerika Serikat dan sekutunya.
Mearsheimer menggunakan kacamata Neo Realisme, salah satu poinnya adalah tidak ada otoritas tertinggi dalam sistem internasional yang anarki. China merasa bahwa tidak ada otoritas pusat atau pemerintah dunia manapun yang berhak mendikte apa yang China lakukan atau akan ia lakukan di kemudian hari.
Sebagai negara yang menganut asas mendayung di antara dua karang, tidak etis jika Indonesia berdiri memihak di salah satu pihak seperti apa yang dilakukan oleh Filipina. Indonesia masih memiliki kesempatan menjadi katalisator konflik melalui organisasi regional ASEAN.
Peran Indonesia dalam ASEAN sangat dibutuhkan, mengingat sebagian besar negara yang terlibat konflik dalam pusaran Laut China Selatan adalah negara-negara di Asia Tenggara. Konflik di Laut China Selatan bukan lagi menjadi ancaman satu atau dua negara melainkan sudah menjadi ancaman kolektif. Cara menyelesaikannya pun perlu dilakukan bersama-sama, duduk bersama di satu meja yang sama.
Meski demikian, Indonesia mendapat rapor merah dalam momentum Keketuaan KTT ASEAN 2023. Hal tersebut disampaikan Rosyidin bahwa dalam momentum bersejarah tersebut Indonesia mengesampingkan kepentingan kolektif dan malah mengedepankan kepentingan nasional yang inward-looking berjangka pendek di bidang ekonomi dan pariwisata.
Kritik Rosyidin ini tidak sepenuhnya benar jika kita memosisikan ASEAN sebagai bagian terpisah dari definisi kedaulatan negara modern. Menurut Dieter Grimm dalam bukunya berjudul Sovereignty: The Origin and Future of a Political and Legal Concept, sebuah negara masih memegang monopoli kekuasaan yang sah meski ikut tergabung ke dalam organisasi-organisasi internasional. Akibatnya tak jarang negara-negara modern tidak patuh terhadap kesepakatan dalam organisasi-organisasi internasional.
Realitas Politik Internasional dan Bagaimana ASEAN Meminimalisasi Konflik Berkepanjangan
Jeratan realitas politik internasional yang mengesampingkan moral dan mengedepankan kepentingan nasional sebesar-besarnya adalah hambatan terbesar bagi ASEAN dalam menyelesaikan konflik Laut China Selatan.
Jika kita melihat Laut China Selatan dari sudut pandang Neo Realisme, meski itu adalah realitas yang sesungguhnya, kita akan sulit mencabut dengan kuat akar masalahnya. Setiap negara akan melindungi kepentingan nasionalnya masing-masing demi bertahan di dunia dengan sistem anarkinya meski harus mengabaikan aturan internasional.
Kegagalan Declaration of Conduct (DoC) yang sebelumnya disepakati bersama antara ASEAN dan China pada tahun 2011 menjadi alarm nyata. Code of conduct (CoC) atau kode perilaku dalam DoC yang dituangkan ke dalam perjanjian tersebut tidak sepenuhnya menyelesaikan sengketa teritorial dan yuridiksi. Tidak ada yang salah dengan perjanjian tersebut, hanya saja cara penerapan di lapangan jauh berbeda dari kenyataan di atas kertas.