Mohon tunggu...
Musa Hasyim
Musa Hasyim Mohon Tunggu... Penulis - M Musa Hasyim

Alumni Hubungan Internasional yang suka baca novel kritik sosial dan buku pengembangan diri. Sering menyukai sesuatu secara random.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menggalakkan Episentrum ASEAN dalam Menghadapi Ancaman Kolektif Laut China Selatan

29 Mei 2024   13:59 Diperbarui: 31 Mei 2024   09:07 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembukaan KTT ASEAN ke 43 dihadiri kepala negara dan pemerintah di negara-negara ASEAN di Jakarta, sumber: Setkab RI

Keberadaan hukum laut internasional tidak selalu menjamin absennya konflik di wilayah perairan. Wilayah kedaulatan sebuah negara tidak hanya sebatas wilayah darat yang dapat dipijaki kaki manusia, wilayah kedaulatan sebuah negara juga mencakup wilayah perairan atau laut dan wilayah udara.

Di dalam perairan atau laut, tersimpan kekayaan alam sebagai salah satu sumber penopang kesejahteraan rakyat. Dan di atas awan, terdapat ruang untuk latihan angkatan bersenjata. Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau UNCLOS 1982 dengan jelas membagi wilayah kedaulatan laut sebuah negara berdasarkan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), Zona Laut Teritorial, dan Zona Landas Kontinen. Di dalam kedaulatan laut, kedaulatan udara turut menyertai.

Indonesia ikut dalam barisan negara yang meratifikasi aturan tertulis tersebut dan dunia internasional mengakuinya. Namun aturan di atas kertas saja tidak cukup, kedaulatan NKRI ikut terusik. Pada tahun 2010, api konflik Laut China Selatan mulai menyala dengan adanya klaim sepihak China atas wilayah Laut Natuna Utara di Kepri.

China beralasan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah penangkapan ikan tradisional nenek moyang mereka. Kebiasaan leluhur dijadikan patokan tak berdasar. China melupakan asas-asas dalam UNCLOS 1982 yang bersifat mengikat.

Api konflik mulai membesar ketika kapal-kapal nelayan sipil dari China memasuki wilayah ZEE NKRI tanpa izin resmi pada tahun 2016. Tak berhenti sampai di situ, kapal penjaga pantai China juga ikut menyusul kapal-kapal nelayan mereka di tahun-tahun berikutnya.

Menurut pantauan dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), bukan hanya nelayan dan penjaga pantai dari Negara Tirai Bambu saja yang melanggar melainkan juga para ilmuwannya. Peneliti dari China tersebut diduga melakukan penelitian ilmiah secara ilegal di wilayah yang hanya berjarak sekitar 9 mil laut dari lokasi instalasi migas Nobel Clyde Bordeaux di Blok Tuna.

Indonesia tidak sendirian, China juga melakukan hal yang sama dengan Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Kepulauan Paracel dan Spratly merupakan dua wilayah yang sampai sekarang diperebutkan antara China dengan Filipina, Vietnam, dan Malaysia (sebagian kecil kawasan di Spratly). Meski UNCLOS 1982 dengan tegas membagi wilayah tersebut berdasarkan kesepakatan internasional, China tidak menghargai keputusan sah tersebut.

China membuat pangkalan militer dan kerap kali berpatroli di sekitar kepulauan Paracel dan Spratly. Klaim China atas wilayah tersebut lagi-lagi berdasarkan pada wilayah penangkapan ikan tradisional mereka. China menyebut wilayah itu dengan sebutan Sembilan Garis Putus-Putus. Bahkan China membuat peta versi mereka sendiri.

Seperti kartu domino yang dijatuhkan akan mengenai domino-domino berikutnya, ketegangan juga merembet ke arah politik. Filipina, salah satu negara yang terlibat konflik, mengundang Amerika Serikat dan sekutunya untuk mengakses berbagai pangkalan militer Filipina. Undangan tersebut disambut baik oleh Amerika Serikat dan mengundang kemarahan balik dari China. Apalagi sejak perang dagang Amerika Serikat-China terjadi, kedua negara tersebut jarang sepaket dalam hubungan antar negara, ketegangan tersebut pun menyulut konflik yang jauh lebih besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun