Selain itu, dulu saya masih kurang percaya diri dengan kemampuan dan bakat menulis saya. Saya lebih banyak ditempa justru di luar jam sekolah. Bakat menulis saya pun kurang tersalurkan dengan baik waktu itu.
Kurikulum yang ideal seharusnya membuat peserta didik merasa percaya diri apapun bakat dan kemampuan yang dimilikinya. Siswa yang cool bukan saja mereka yang selalu dapat nilai ujian di atas sembilan puluh, bukan? Angka sembilan puluh di rapor tidak bisa dijadikan patokan utama dalam menentukan kecerdasan seorang siswa. Kecerdasan bukan sebatas angka di atas kertas. Apalagi jika indikator penilaiannya murni berasal dari berapa banyak siswa menjawab soal dengan benar.
Satu lagi, dulu saya sedikit malas untuk mempelajari sesuatu yang baru di sekitar saya karena gurunya memang tidak memancing kita untuk mempelajari sesuatu itu. Dan kurikulum yang ideal bagi saya tidak seharusnya begitu.
Namun lagi-lagi saya memakluminya, dulu zaman tidak secanggih sekarang di mana sumber informasi dan inspirasi masih terbatas, guru pun tidak bisa berbuat banyak.Â
Dulu mana tahu saya ada yang namanya seni lettering, atau membuat komik digital dengan komputer. Dulu mana tahu saya jika di luar sana ada yang namanya profesi analis data, atau copywriter.
Mengenal Kurikulum Merdeka dan Bagaimana Saya Menerapkannya
Memunculkan rasa ingin tahu, menguatkan rasa percaya diri dengan bakat dan kemampuannya, dan berani mempelajari hal baru adalah sebuah tujuan yang sedang dikejar melalui sebuah kurikulum bernama Kurikulum Merdeka.
Setidaknya ada empat poin penting Kurikulum Merdeka yang humanis dan akhirnya saya implementasikan ke dalam pembelajaran di kelas untuk mencapai ketiga tujuan di atas.
Pertama, bahwa karakter dan kemampuan peserta didik tidak bisa dipukul rata. Dulu nilai rapor adalah segala-galanya, orang tua akan rela melakukan apa saja asalkan nilai rapor anaknya melebihi di atas standar rata-rata khususnya di mapel bidang MIPA.
Tidak semua siswa punya keahlian yang sama dan memiliki IQ di atas rata-rata. Saya justru menghindari menyamakan karakter dan kemampuan siswa saya hanya sebatas dari nilai ulangannya saja.
Setiap kali pembelajaran di kelas, saya selalu melihat dan mengamati, mana siswa yang memang memiliki IQ tinggi (pintar di teori), mana siswa yang pintar public speaking, mana siswa yang pandai mendesain, dll.