"Ngapain naik sepeda, Bro? Ini Jakarta, bukan Amsterdam!"
Pernyataan tersebut dilontarkan seorang kawan ketika saya mencoba menerapkan salah satu pola hidup BMW. Bukan, bukan BMW mobil mewah yang sering dipamerkan oleh sekelompok sultan Andara sana.
BMW di sini merupakan kepanjangan dari Biking, Mass Transportation, dan Walking. Saya iseng saja buat akronim baru tersebut, biar terkesan mewah namun berdampak luar biasa.
Buat Apa Mengeluh, Mulai Bersepeda Saja Dulu
Soal bersepeda, memang sih saya akui fasilitas umum bagi pesepeda di Indonesia khususnya di wilayah perkotaan belum seramah kota-kota yang ada di Belanda atau belahan bumi Eropa lainnya. Jika saya bandingkan, mungkin 60 banding 90.
Di Belanda, parkir sepeda di beberapa tempat umum seperti di stasiun dilengkapi dengan sistem yang canggih. Ada beberapa titik yang memang dikhususkan sebagai tempat parkir sepeda.
Selain itu, ada 55 ribu km jalur sepeda yang membentang jika ingin menelusuri Negeri Kincir Angin tersebut tanpa putus.
Sementara di Indonesia, parkir khusus sepeda masih agak jarang ditemukan di tempat umum karena memang budaya di Indonesia lebih kental dengan sepeda motornya ketimbang budaya gowesnya.
Membangun budaya bersepeda memang penting, bahkan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte tidak segan-segan bersepeda ke tempat dinasnya karena budaya itu memang sudah mengakar kuat di benak masyarakat Belanda.
Sampai-sampai di sana ada istilah lebih banyak sepeda daripada manusianya. Di samping fasilitasnya yang komplit dan memadai, masyarakat di sana juga jarang merampas hak-hak bagi pesepeda.
Lain cerita di negara yang banyak pulaunya ini, pemerintah sengaja membangun jalur khusus bagi pesepeda untuk mengurangi jumlah kendaraan bermotor, malah diserobot oknum barbar dengan dalih sudah bayar pajak untuk bangun jalan tersebut.
Lucunya, kawan saya ini termasuk oknum barbar itu plus banyak mengeluhnya ketika cuaca makin panas sehingga tunggakan listrik penyejuk udara di rumahnya membengkak. Apalagi kawasan rumahnya mudah dihampiri banjir dadakan, lengkap sudah keluhan yang biasa dia utarakan di medsos.
Tapi apa benar sih perubahan iklim sebegitu menggerikannya sehingga kita perlu bertindak dari sekarang, enggak boleh nunggu nanti-nanti?
Menurut Forest Digest, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sudah mencapai 414,3 Part Per Million (PPM) hanya dalam waktu tiga abad sejak Revolusi Industri meletus pada 1750. Sementara 10.000 tahun sebelum penemuan mesin uap dan penggunaan bahan bakar fosil dilakukan secara masif, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer stabil di angka 280 PPM.
Artinya kenaikan suhu di permukaan bumi bukan hanya mitos belaka namun sebuah fakta di depan mata. Perubahan tersebut melaju sangat cepat layaknya mobil BMW yang dikemudikan pembalap profesional.
Jika ini dibiarkan saja dan hanya  dianggap angin lalu maka dampak yang lebih menggerikan dari sekadar cuaca panas dan banjir akan menjadi kenyataan misalkan krisis air bersih, topan, badai, atau kebakaran hutan. Â
Lalu apa kita perlu bertindak seperti Greta Thunberg yang bolos sekolah setiap hari Jumat khusus untuk berunjuk rasa di depan kantor parlemen. Lantas mengecam para pemimpin dunia dan menganggap mereka tidak becus dalam menangani perubahan iklim.
"Net zero, blah, blah, blah. Ini semua yang kita dengar dari orang-orang yang kita sebut pemimpin. Kata-kata yang seolah hebat namun sejauh ini tidak menghasilkan tindakan maupun harapan. Kata-kata dan janji kosong belaka", katanya.
Saya mengapresiasi keberanian Greta dalam menyuarakan isu perubahan iklim di usianya yang terbilang masih cukup belia. Namun kok ya, mengkritik tanpa solusi ibarat kita makan rendang tanpa nasi atau makan di warteg tanpa kerupuk, berasa ada yang kurang gitu.
Greta bukan ilmuwan tapi apa salahnya dia belajar sungguh-sungguh di kelas supaya kelak bisa menciptakan terobosan baru misal teknologi penyerap karbon murah yang canggih, bukan malah bolos sekolah.
Karena saya bukan aktivis sosial ataupun ilmuwan, saya hanya bisa melakukan pola BMW itu tadi, termasuk bersepeda.
Saya kadang full gowes ke kantor jika sedang tidak ingin naik kendaraan umum dan tidak pernah sama sekali naik sepeda motor ke kantor. Memang sih sepeda saya itu jenis sepeda listrik, tapi kan kendaraan listrik itu jauh lebih hemat ketimbang kendaraan bermotor.
Di samping bersepeda, saya juga selalu membawa tumbler dan sedotan portabel, tas belanjaan dan tidak lupa helm sepeda sebagai tambahan ekstra.
Buang Gengsi, Â Naik Kendaraan Umum itu Sungguh Berarti
"Kalau naik KRL, saya tidak bisa pamer mobil baru dong!"
Suatu ketika, teman saya beli mobil baru. Katanya mobil lamanya dipakai adiknya yang sudah mengantongi SIM A. Bayangkan jika satu keluarga berjumlah 5 orang, maka dalam satu rumah ada 5 mobil. Untungnya teman saya ini hanya 2 bersaudara saja. Ini masih mobil loh, belum sepeda motornya.
Menurut data dari BPS, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 133 juta di tahun 2019 atau meningkat 5 persen dari tahun sebelumnya. Itu artinya, lebih dari setengah penduduk Indonesia memiliki kendaraan bermotor.
Bayangkan jika seluruh pengguna kendaraan bermotor itu menggunakan kendaraannya setiap hari ketika berangkat bekerja, bersekolah, atau ke tempat hiburan, akan ada berapa emisi karbon yang dihasilkan?
Loh, kan Indonesia punya banyak pohon, laut yang luas, dan tanah yang mampu menyerap emisi karbon? Memang sih, menurut para ahli yang saya lansir dari Forest Digest, hutan secara global dapat menyerap 20% emisi karbon, laut dan perairan menyerap 23%, sedangkan 57% sisanya adalah tanah.
Tapi lihat, sudah ada berapa pohon berganti beton, sudah berapa banyak sampah menutupi permukaan air laut, dan ada berapa tanah yang bukannya ditanam pohon malah ditanam kaveling.
Gas rumah kaca pun menebal karena kurangnya kemampuan bumi kita menyerap emisi karbon tersebut. Belum lagi, semakin tahun emisi yang dihasilkan semakin bertambah saja.
Sebenarnya agak disayangkan Indonesia menunda standar emisi Euro 4 untuk kendaraan bermotor dari semula berlaku April 2021 menjadi April 2022 dengan berbagai alasan mulai dari efek pandemi sehingga ada penundaan uji mesin di Jerman sampai faktor ekonomi.
Itu artinya Indonesia masih setia dengan standar emisi Euro 2 dan 3 di saat negara sebelah sudah menerapkan standar emisi Euro 6. Semakin tinggi nilai Euronya, semakin irit bahan bakar dan semakin rendah pula dalam menghasilkan emisi karbon.
Ketimbang menunggu standar Euro 4 diterapkan tahun depan, kenapa kita tidak memulai dari diri sendiri saja dulu, minimal naik kendaraan umum yang lebih hemat emisi karbon.
Bagaimana tidak, satu kendaraan umum bisa muat puluhan sampai ratusan pengguna dengan estimasi gas emisi yang dihasilkan lebih rendah daripada mobil atau sepeda motor yang hanya muat beberapa orang saja.
Memang sih, naik kendaraan umum tidak bisa selip sana dan selip sini. Pun kita tidak bisa pamer mobil baru ke sesama rekan (ini satire ya!). Namun apa salahnya kita mencoba menambah angka harapan hidup bumi pertiwi yang sudah semakin renta ini.
Mager Jalan Kaki: Penyakit Menahun yang Bikin Boros Energi
"Lebih enak naik motor, mager jalan kaki, cuaca makin panas!"
Mager jalan kaki bukan sebatas rasa malas yang menumpuk, lebih dari itu, mager jalan kaki sudah menahun dalam budaya Indonesia.Â
Menurut hasil pengamatan saya, hampir lebih dari 90 persen kenalan di lingkaran saya memilih naik motor ketimbang jalan kaki ke tempat yang bahkan jaraknya kurang dari 800 meter jauhnya.
Alasan mereka sangat klasik, mager jalan dan cuaca yang makin hari makin panas. Ketika hendak berangkat jumatan, coba lihat saja, ada berapa jemaah yang jalan kaki dan bandingkan dengan jemaah yang naik sepeda motor.
Kalau dilihat-lihat, mayoritas lebih memilih naik sepeda motor. Hal ini bisa dilihat dari selalu penuhnya parkiran masjid menjelang salat Jumat. Padahal jika ditelusuri lebih jauh lagi, rumah atau kediaman mereka berjarak tak lebih dari 800 meter untuk ke masjid. Kebiasaan ini saya temui baik di lingkungan desa maupun lingkungan kota.
Saya membayangkan, ada berapa emisi karbon terbuang sia-sia oleh sekumpulan orang mager jalan kaki ini. Jika mengacu pada jam tangan kesehatan yang saya pakai sehari-hari, berjalan 1,74 km dapat menghemat sekitar 0,14 liter bensin, tidak banyak memang namun coba kalikan, misalkan dalam satu masjid yang sedang salat Jumat semuanya berjalan kaki, kemudian kalikan lagi dengan seluruh pengunjung supermarket maka akan ada berapa liter bensin dan akan ada berapa emisi karbon yang berhasil direduksi setiap harinya dari langkah sederhana tersebut?
Meskipun itu hanya 0,14 liter bensin per kepala namun jika dikalikan sepuluh juta penduduk Indonesia saja, kita sudah hemat 1,4 juta liter bensin per hari. Ada benarnya juga apa kata pepatah, sebatang lidi tidak berrti apa-apa tapi bila diikat jadi satu, akan menyapu segalanya.
Daripada buat gerakan bolos sekolah setiap Jumat, mending buat gerakan jalan kaki ke tempat ibadah setiap minggunya, pasti jauh lebih dirasa manfaatnya. Ini baru satu gerakan, bagaimana dengan gerakan bersepeda maupun gerakan naik transportasi umum ke tempat kerja, sekolah, atau pusat perbelanjaan.
Mobil mahal BMW akan kalah mewahnya dengan BMW (Bike, Mass Transportation, dan Walking) karena memiliki dampak yang bukan kaleng-kaleng.
Jika kemudian gerakan BMW ini diikuti seperempat saja, syukur-syukur setengah dari jumlah penduduk Indonesia, maka tentu saja angka harapan hidup bumi yang sehat akan bertahan lebih lama lagi dengan net-zero emissions-nya.Â
Tak sebatas bumi pertiwi, badan dan pikiran kita juga akan lebih sehat karena di dalam bumi yang sehat terdapat tubuh yang kuat baik fisik maupun mentalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H