Mendengar kata jurnal, benak kita mungkin lari ke tugas kuliah atau segala macam yang berbau dengan dunia akademis. Anggapan itu tidak salah, karena dalam kamus KBBI saja, jurnal memiliki banyak makna, namun jurnal yang saya maksud di sini dan yang akan saya bahas di sini adalah jurnal berupa catatan harian.
Saya sudah menulis jurnal harian sejak SMP di mana SMP saya saat itu memakai sistem boarding school. Namun jurnal harian saya waktu itu bentuknya masih sangat sederhana, dan bisa dibilang agak kekanak-kanakan. Waktu itu saya menulis jurnal hanya untuk bercakap-cakap dengan diri saya sendiri di masa depan, namun bukan masa depan yang sangat jauh melainkan masa depan ketika saya tidak berada di asrama.
Jadi ketika saya pulang ke rumah, saya akan menuliskan perasaan betapa saya senang berada di rumah lalu saya menanyakan kabar saya yang sudah kembali ke asrama lewat jurnal.
"Bagaimana kabar kamu yang sudah di asrama? Saat ini saya sedang di rumah, bisa nonton TV sepuasnya dan keluar tanpa perlu izin pengurus. Semoga kamu yang di asrama betah," begitu kira-kira isi dalam jurnal harianku waktu SMP.
Sementara ketika SMA, saya merasa malu pada diri sendiri jika harus menulis jurnal harian seperti itu. Begitu pula sewaktu kuliah. Tapi ada yang unik setelah itu, begitu lulus kuliah, saya malah memulai lagi menulis jurnal harian.
Tepatnya pada 2017, ketika saya sedang berjuang melamar pekerjaan ke sana ke mari. Saya tuliskan to do list bulanan, perusahaan yang ingin saya lamar dan sebagainya. Di samping itu saya juga membuat lis beasiswa yang ingin saya kejar.
Ada banyak lika-liku yang saya utarakan dalam jurnal tersebut. Dan saya memantapkan hati untuk menyeriusi program pengembangan diri tersebut lewat jurnal atau saat ini lebih dikenal dengan Bullet Journal. Kemudian sampai pada kuartal kedua 2021 ini, saya mengalihkan Bullet Journal yang tadinya konvensional menggunakan buku menjadi Bullet Journal menggunakan tablet pintar.
Lantas apa sih korelasinya antara jurnaling dengan menyelamatkan bumi dan kesehatan mental?
Pertama soal menyelamatkan bumi, ini memang agak sedikit berlebihan tapi saya yakin semua orang sepakat bahwa kertas itu terbuat dari bubur kayu. Dan kayu berasal dari pohon, kira-kira ada berapa pohon yang harus ditebang setiap bulannya untuk kertas-kertas yang kita gunakan setiap hari?
Meski setiap perusahaan kertas pasti punya prosedur analisis dampak lingkungan, tapi tetap saja namanya pohon ditebang itu bagi saya sungguh akan memengaruhi lingkungan apalagi jika dilakukan berjemaah.
Lingkungan yang asri dengan rimbunnya daun di samping kanan dan kiri merupakan anugerah dan terapi mental tanpa obat.
Menurut Halodoc, memeluk pohon akan menciptakan perasaan relaksasi dan kenyamanan pada diri seseorang. Kegiatan memeluk pohon biasa disebut ecowellness. Sebenarnya tidak hanya memeluk pohon, dengan melihat dedaunan pohon diterpa angin saja membuat pikiran kita rileks dan damai. Apalagi pohon itu menyerap udara kotor dan memfilternya menjadi udara yang baik buat tubuh.
Bayangkan saja, jika seluruh pohon menghilang dari bumi, akan ada berapa manusia yang stres. Saya saja nih, selama pembatasan sosial di mana saya banyak mengurung diri di kamar, saya stresnya minta ampun karena memang tidak ada pepohonan di sekitar rumah.
Langkah saya mengganti sesuatu yang berhubungan dengan kertas termasuk jurnaling dengan digital adalah salah satu upaya kecil saya supaya bisa meminimalisir penggunaan kertas dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi saya orangnya suka mencoret-coret sesuatu di atas kertas. Jadi bayangkan saja, dulu saya sering menghabiskan satu buku hanya untuk corat-coret ide dan gagasan, tak kurang dari sebulan buku itu sudah penuh saja dengan coretan.
Kedua soal menyelamatkan kesehatan mental, ini sebenarnya tidak sepenuhnya menyelamatkan karena kembali lagi pada pernyataan bahwa yang bisa menyelamatkan kesehatan mental adalah Tuhan dan diri kita sendiri tapi setidaknya journaling ini sedikit membantu kontrol emosi saya. Kenapa demikian?
Jadi ketika saya konsultasi ke psikolog, si psikolong menyarankan saya untuk selalu mencatat kondisi ketika saya berpikiran atau bermood negatif dan ketika saya sedang mengalami hal positif. Saya selalu mencatat kedua hal sederhana itu setiap harinya.
Awalnya saya ragu, tapi perlahan-lahan saya mulai mengerti bahwa hidup ini tidak melulu soal satu sudut pandang saja, ada banyak sudut pandang yang terkadang manusia lupakan.Â
Namun jika saya hidup hanya dari satu sudut pandang saja, yakni hanya dari satu sudut pandang negatif saja maka saya akan sulit keluar dari cengkraman monster kejiwaan.Â
Begitupun jika saya hanya memakai dasar positif saja maka bisa jadi saya akan selalu membenarkan hal-hal buruk di sekitar. Jadi inilah pentingnya hidup dengan banyak sudut pandang atau perspektif, begitu kata psikolog yang masih saya ingat.
Dalam jurnaling, saya mengamati, introspeksi, dan mengatur keseharian supaya saya bisa melihat ada banyak hal sederhana yang justru saya abaikan. Ini juga sebagai wahana saya untuk mewanti-wanti saya supaya bisa meraih work life balance.
Dengan digital jurnaling, secara tidak langsung saya sudah berusaha untuk menyelamatkan bumi dan mental saya, meski hasilnya belum begitu terlihat namun jika saya melakukannya secara konsisten dan mengajak orang lain untuk berbuat serupa maka setidaknya usaha saya tidak akan sia-sia. Siapa tahu akan ada yang mengikuti jejak kecil saya ini.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H